Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Perempuan yang Menyusuri Pepohonan Tua Masa Kecilnya

22 September 2021   13:58 Diperbarui: 22 September 2021   20:20 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen : Perempuan yang Menyusuri Pepohonan Tua Masa kecilnya

Sinar matahari berada  diatas kepala dengan garangnya. Tak surutkan langkah kaki perempuan itu menyusuri jalanan Kampung yang menghitam. Bola matanya yang indah melirik ke kiri dan ke kanan. Matanya tak lagi melihat rerimbunan ilalang yang dulu pernah menggoda kaki jenjangnya yang putih bersih. Mata indahnya tak melihat lagi deretan pohon-pohon besar yang mejejer di jalanan kampung itu. Mata indahnya tak lagi melihat jejeran gagah pohon-pohon besar yang menjadi ornamen Kampung masa kecilnya itu. Yang disaksikan bola  matanya bak bola pingpong itu hanyalah deretan rumah-rumah permanen sebagai simbol eskalator ekonomi warganya.

" Kemana ilalang yang nakal itu? Kemana perginya pohon-pohon gagah itu?" gumamnya dalam hati.

Otak cerdasnya memuncratkan memori lama, tentang ilalang yang pernah nakal di kakinya. Setiap senja tiba, bersama dengan arakan gerombolan burung camar yang menari di langit biru, perempuan kecil itu selalu berlarian gembira di rimbunnya ilalang itu. Terkadang ilalang liar itu mengoda kaki kecil mulusnya. Bahkan kadang- kadang ilalang nakal itu menggelitik paha putihnya hingga dia menjerit dan menakutkan kawan-kawan kecilnya yang berada didekatnya

Kini...

Rerimbunan ilalang nakal itu telah hilang.  Jejeran pohon-pohon gagah itu tinggal memori. Menjelma menjadi deretan rumah-rumah yang menjadi simbol ekonomi para warganya. 

Kaki jenjangnya terus melangkah dan melangkah. Sinar garang matahari yang membuat tubuh indah berkeringat tak digubrisnya. Kakinya terus melangkah dan melangkah hingga kaki putihnya seketika, berhenti di depan sebuah pohon manggis tua yang berdiri tegar di halaman sebuah rumah kuno.. Sebuah pohon yang berdiri gagah bersama deretan pohon-pohon lainnya yang menjadi pagar rumah kuno itu. 

"  Pohon-pohon ini akan menjadi pusat oksigen kita," ungkap Ayahnya ketika itu, saat dirinya melihat ayahnya menanam pepohonan itu disekitar rumahnya.

Di halaman rumah kuno itu, hamparan rumput yang menjadi ornamen rumah masih terlihat menghijau dan menghijau. Memanjakan mata yang melihatnya. Perempuan muda itu masih teringat, saat dia kecil menjadikan reumputan hijau itu sebagai ruang bermainnya bersama teman-teman kecilnya. Bak stadion utama Senayan tempat para pesepkbola memainkan taktik bola untuk menjebol gawang lawan.

Dia bersama teman-teman kecilnya, bebas berlarian ke sana ke mari dihalaman rumah yang menghijau itu. Mengitari rerumputan. Menari-nari diatas rerumputan hijau itu. Sebuah memori lama yang masih membekas dalam memori otaknya yang cerdas yang tak pernah didapatnya saat mereka pindah ke Kota yang dipenuhi gedung-gedung beton yang hendak menyaingi langit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun