" Tampaknya dia lelaki yang bertanggungjawab," sela yang lain.
" Dan aku yakin  dia seorang lelaki yang gagah dan perkasa," jawab wanita dalam gerombolan itu sambil ngakak yang ikuti koor ketawa para temannya yang lain.Â
Suara tawa lepas mareka membela senja yang makin memerah. Sebuah tanda alam akan mulai bergulir gelap.
Lelaki itu menyadari bahwa dirinya menjadi perbincangan kaum hawa di Kampung tempatnya tinggal kini. Lelaki itu paham bahwa kehadirannya di Kampung ini  untuk sebuah perjalanan hidup yang panjang.
" Bung ini bisa saja. Ada-ada saja sebagai bahan lelucon hidup," kata lelaki itu saat ditanya teman serumahnya saat mareka berbincang.
" Tapi bung jadi bahan pembicaraan kaum hawa disini. Jadi trending topik kaum wanita," ujar temannya dengan tatapan genit.Â
lelaki itu hanya tertawa. Tawanya membelah malam yang makin pekat dibalut asap yang tak kunjung pergi. Keduanya pun saling berngkulan untuk membelah malam yang makin genit sebagaimana genitnya dua lelaki dewasa itu dalam keheningan malam yang makin menyuarakan birahi.
Lelaki itu memahami benar sebagai seorang lelaki dewasa dirinya sudah sepatutnya mendapatkan sahabat baik untuk dijadikan teman hidup dalam menatap masa depan yang makin liar dan ganas.Â
Harapan dari keluarga, sahabat baik dan kawan karibnya agar diirnya segera mengakhiri masa lajangnya sebagai pria dewasa seolah-olah sesuatu yang tak mungkin dia perankan.Â
Berkeluarga adalah sesuatu yang mustahil dia lakoni sebagai lelaki seutuhnya. Pengalaman masa silam membuat dirinya menjelma sebagai lelaki yang tak merindukan kasih sayang seorang wanita.
lelaki itu masih ingat dan sangat ingat ketika masih di Sekolah Dasar di Kampung, lelaki itu mendapati ayahnya harus menerima bogem mentah dari Ibunya. Dan peristiwa itu bukan hanya sekali disaksikannya. Berkali-kali. Dan bukan hanya bogem saja yang diterima ayahnya. Namun diksi makian keluar dari mulut tipis Ibunya yang menorehkan luka dalam jiwanya.