Warga kampung hanya terdiam. Senyap. Dia tak bersuara lagi. Dia paham betul dengan watak mak, tetangga rumahnya yang dikenal keras kepala dan berbudi luhur.
Sebenarnya Mak sudah tak pantas, bahkan tak layak lagi untuk berjualan di Pasar. Tubuhnya sudah sangat renta. Kondisi kesehatannya sudah sangat menurun drastis. Mak dengan tangan yang setengah gemetar memegang tongkat kayu itu hingga menuntunnya tiba di Pasar dan kembali pulang ke rumahnyaÂ
Tanpa dukungan dari Tongkat Kayu itu, entah bagaimana Mak bisa tiba di Pasar setiap paginya.
Beberapa warga telah beberapa kali pula menasehati Mak untuk tidak berjualan lagi di Pasar. Tapi Mak menolaknya dengan jawaban yang sopan berbalut lembut.
"Kasihan para pembeli dan pelanggan Mak kalau Mak tak berjualan lagi,"jawab Mak. " Lagi pula Mak tak enak hati dengan para pembeli yang terkadang sudah terlebih dahulu menitipkan uang mereka untuk membeli sayuran Mak. Mak sudah terima uang mereka. Masa Mak tak mengantar barang mereka. Ingkar itu dosa lho. Mak sudah tua. Sebentar lagi mati. Nah, kalau Mak banyak dosa karena ingkar, alamat mak akan masuk neraka. Waduh," lanjut mak.Â
Kembali para warga terdiam. Tak bersuara lagi mendengar jawaban Mak. Mereka, para warga enggan berdebat kusir dengan Mak, orang paling tua di kampung mereka. Mak adalah  orang yang mereka hormati. Mak telah mereka anggap sebagai orang tua mereka sendiri.
Para warga kampung kaget. Bahkan setengah takjub. Bagaimana tidak kaget dan takjub, tiba-tiba dihalaman masjid kampung mereka, berjejer berbagai barang sumbangan dari para jemaah yang mampir ke masjid mereka untuk sholat. Ada kambing. Ada Sapi yang langsung memamah rumput liar yang ada di sekitar halaman masjid. Bahkan sangat waktunya berbuka tiba, banyak sekali orang yang mengantar kue, nasi dan buah-buahan untuk mereka yang berbuka di Masjid kampung.
Demikian pula dengan penampakan di kotak amal. Sempalan uang sudah meluber hingga berceceran di lantai masjid. Ada amplop putih tebal dan amplop coklat ukuran besar yang berada dekat kota amal masjid. Menggunung.
Melihat fenomena ini, Ketua Masjid akhirnya memberanikan diri bertanya kepada salah seorang jemaah masjid yang datang dari luar Kota yang menitipkan amplop coklat yang tebal di dekat kotak amal.
" Mohon maaf, Pak. Apa maksud Bapak menitipkan uang sebanyak ini untuk masjid di kampung kami ini," tanya ketua Masjid dengan suara yang penuh kesopanan.
" Kami malu Pak Ustad dengan Mak, warga kampung ini. Mak tiap hari membagi uangnya untuk masjid ini. Sementara pendapatannya sangat kecil bahkan bisa dikatakan minim sekali. Tapi Mak masih bisa membagi rezekinya untuk masjid. Kita, terutama saya, penghasilan besar tapi sangat pelit membagi rezeki besar itu untuk masjid. Kami malu dengan Mak. Kami sangat malu dengan Mak," terang jemaah dari luar Kota dengan nada suara parau.