" Kapan ya kita nih berganti profesi," keluh seorang temannya sesama pembecak.
Lelaki setengah baya itu tertawa sambil memandangi langit yang biru.
" Kalau tidak ngebecak, kita nggak makan Bro," jawabnya.
Senja itu, usai membecak, lelaki setengah baya itu termenung di depan rumahnya. Memandangi jalanan di depan rumahnya yang belum teraspal hotmix. Jalanan menuju rumahnya masih dipenuh kerikil tajam. Hari-hari teramat berat telah dijalaninya. Senja itu dia tidak punya satupun bahan makanan. Dia dan istrinya jadi gelisah. Terpaksa dan dengan berat hati,  mereka kembali berutang lagi pada Mpok Yati pemilik  warung sebelah untuk sekilo beras.Utangnya sudah banyak sebagaimana yang diucapkan Mpok Yati.
Lelaki setengah baya itu tak pernah marah atau menyesali keadaan ini. Mungkin batinnya penuh luka dan derita, namun dia tetap tegar menghadapinya.
" Pak. Bagaimana kalau becak bapak kita jual. Uangnya buat modal kita pulang ke Kampung," usul istrinya.
" Aku kerja apa di kampung," tanya lelaki setengah baya itu.
" Kan dari sisa penjualan becak, bisa kita beliin kebun. Kita hidup di kampung saja," jawab istrinya.
Lelaki setengah baya itu terdiam. Ada kesedihan dalam jiwanya mendengar usulan istrinya. Lelaki setengah baya itu realistis. Dipandanginya becak yang selama ini selalu bersamanya. Tak terasa airmatanya menetes. Seolah-olah menyiratkan sebuah kepedihan yang terpancar dari dua bola matanya.Â
Toboali, jumat malam, 5 Maret 2021
Salam dari Kota Toboali, Bangka Selatan