Kendati hidup dalam keluarga yang bergelimangan harta dan kuasa, Gendis tetap gadis yang sederhana. Gadis yang tak pernah memamerkan kekayaan harta keluarganya. Gadis yang masih ke kampus naik angkot bahkan ojek. Gendis tak pernah bercerita tentang keluarganya kepada teman-temannya. Bahan Gendis satu-satunya teman mareka yang tak pernah mengajak mareka kerumahnya,
" Aku kan kost di kota ini, Jauh dari orang tua, Jadi tak bisa mengenalkan kalian dengan keluargaku," jelasnya saat teman-temannya memintanya mengenalkan keluarganya kepada mareka.Â
###
Usai berbuka puasa bersama ayah dan ibunya di meja makan, Gendis langsung meninggalkan meja makan keluarga. Tapi ayahnya tiba-tiba memintanya untuk tidak meninggalkan meja makan.
" Aku akan dilantik jadi Hakim Agung," jelas sang ayah. Wajah Gendis tak berubah. biasa saja. Tak ada istimewanya. Beda dengan wajah ibunya yang sumringah. Bahkan rona merah seolah memancar dari kerut wajah cantiknya. Sisa kecantikan yang tersisa dari seorang mantan putri Indonesia puluhan tahun silam.
" Kok kamu tak gembira," tanya sang Ibu.
Gendis langsung meninggalkan meja makan tanpa menghiraukan suara ayah dan ibunya. Gendis langsung mengurung diri di kamar.
Sebagai anak tentu saja Gendis bangga dengan kerja keras ayahnya. Ayah yang bijaksana. Berpendidikan tinggi. Terkenal dan dhormati orang. Pergaulannya luas. Apalagi ayahnya berprofesi sebagai hakim yang menjadi tulang punggung bangsa ini dalam menegakkan keadilan buat pencari keadilan.
Gendis teringat dengan kisah dua tahun lalu, saat dirinya baru memulai kuliah di Kota. Seorang sahabatnya terpaksa harus berhenti kuliah karena tak mampu membayar biaya hidupnya selama kuliah. Menurut cerita temannya iru keluarganya diperas habis-habisan oleh hakim yang menanangani perkara ayahnya yang terlibat penyalahgunaan wewenang.
" Ayah saya dijadikan ATM," keluhnya.
" Mareka selalu minta uang kepada ayah saya," lanjutnya.