Senja terbangun dengan terheran heran. Â Kemana warna merahnya pergi. Â Tak mungkin dia menampilkan diri seadanya. Â Dia adalah anak hari yang tak boleh ternoda. Â Telah diberi bagian warna. Â Tak boleh berganti rupa seenaknya. Â Lagipula manusia di bawah sana, Â selalu mengharapkan kedatangannya, dengan warna yang sama setiap kalinya.Â
Dia harus menuntut siapa. Â Bisa jadi matahari terlalu memutihkan diri, enggan mengalah, enggan pergi. Â Atau bisa juga malam terlalu tergesa gesa dengan hitamnya, tak mau kalah, tak mau menyerah. Â Senja menggeleng gelengkan kebingungannya.Â
Matanya lalu jelalatan kesana kemari. Â Dia harus mencari biang kerok yang telah mencuri. Â Di setiap teluk, dia jenguk, yang ada hanya kediaman mengangguk angguk. Â Di setiap selat, dia lihat, yang ada hanya gelombang menjilat jilat. Â Di setiap laut, dia pagut, yang ada hanya alis mata yang mengkerut.
Daratan pasti tak punya keinginan mengambil merahnya. Â Mereka lebih suka gunungnya menghijau. Â Tanahnya bercoklat hitam. Â Sawahnya menguning emas. Â Sungainya menjernih bening. Â Manusianya serba abu abu.
Senja hampir putus asa. Â Jika begini terus, dia akan mengadu kepada Tuhan. Â Jalan terakhir jika tak ada lagi pikir. Â Jalan terbaik jika semuanya terlalu pelik. Â Lalu senja melepaskan tatapan matanya ke seantero bumi untuk kesekian kali. Â Berjumpa dengan merah berlelehan di mana mana. Â Irak, Syiria, Sudan, dan Yaman. Â Merah mendanau di padang pasir mereka, kota kota mereka, Â tubuh tubuh mereka.Â
Senja menjerit sekeras ribuan gempa. Â Ini merahnya! Â Dia tidak rela!
Bogor, 14 April 2017 Â Â Â