Kita berbincang di antara dua sungai keruh dengan suara air bergemuruh. Kita berbicara tentang musim hujan yang telah pergi meninggalkan kita secepat kereta keluar kota. Ini mungkin air bah terakhir yang akan mengirimkan kecemasan di sudut mata orang-orang yang nyaris semua berkaca-kaca.
Tapi kita enggan mengakui bahwa yang akan tiba adalah panasnya debu yang datang laksana pasukan Terrakota. Mengetuk daun pintu, jendela dan juga udara bersama kerumunan airmata di mana-mana. Hutan terbakar, asap menguar, dan langit menggelepar. Kita harus melaluinya selama berbulan-bulan. Karena itu sudah menjadi semacam kebudayaan.
Berikutnya kita akan bersegera menyalahkan kegaduhan musim. Sebagai cara mengelak terhadap perilaku kita yang dzolim. Kita jadikan cuaca sebagai komoditi, kambing hitam, dan Patih Sengkuni. Kita perjualbelikan sebagai isu, lempar batu, sekaligus membuat drama yang begitu mengharu-biru.
Kita lupa. Atau pura-pura lupa. Dan tak mau melawan lupa. Bahwa dua musim yang kita punya. Dua-duanya telah kita jadikan hamba sahaya.
Melalui bumi dan langitnya yang terus menerus kita aniaya. Tanpa jeda.
Bogor, 19 Juli 2020