Seorang perempuan, menabuh kenangan di tingkap matanya yang rapuh, lalu ditabuh oleh tatapan hujan yang runtuh. Di depan jendela yang terbuka. Setelah didorong oleh angin yang meronta. Pada sebuah senja yang kehabisan warna merah muda.
Perempuan itu, menyergap jalur terbang seekor kupu-kupu, lalu disergap oleh lintasan waktu. Ketika deretan masa lalu. Mengeja hurufnya satu persatu. Pada penghujung hari yang bergulir jatuh. Saat matahari telah kehilangan warna untuk disepuh.
Di depan pintu, ketika tak setitikpun rintik datang bertamu. Perempuan itu menyeduh segelas angan yang baru saja dilahirkan oleh awan. Tidak berupa hujan. Tapi setempayan kenangan yang berjatuhan.
Di bawah cahaya lampu, saat malam mulai memperdengarkan suara kegelapan yang ngilu. Perempuan itu menyamak guguran kembang sepatu. Untuk dijadikannya tilam pembaringan. Agar bisa membaringkan kerinduan.
Seperti dahulu sekali. Saat dia masih berkawan dengan segala rupa sunyi. Berbincang dengan penuh rasa percaya. Bahwa jikalau rembulan dan bintang masih ada. Maka tidak satupun asa yang bisa dipusara.
Bogor, 5 Juni 2020 Â