Pergilah bermain hujan, aku akan menyusulmu setelah selesai menata kenangan.
Musim dan cuaca adalah dua perihal berbeda yang memiliki perkara sama. Mungkin tak jauh berbeda dengan kehausan akan lahirnya adrenalin dan tumpah ruahnya rasa ingin. Aku yang selalu ingin menulis dan kau yang tak pernah terlambat untuk menari bersama gerimis.
Saat ini dunia terasa begitu sempit sehingga masing-masing dari kita bisa mendekatkan setiap rasa sakit. Melalui berita-berita, apakah itu ngayawara atau memang nyata. Di kesibukan sinyal-sinyal yang terus menerus mengirimkan pesan berantai dari menara-menara yang dibangun serupa belantara.
Di hari-hari kerja, ketika aku mengukur panjang trotoar agar bisa bertemu dengan stasiun kereta, kau membuat desain peron yang memungkinkan kita bisa berjumpa. Bercakap-cakap di sana. Sambil membaca bait-bait tentang keberangkatan. Namun ternyata lupa mencantumkan jadwal kepulangan.
Di malam hari ketika semua hal melarikan diri ke dalam ceruk yang sepi, aku justru mulai gaduh tentang rembulan patah dan jatuh, sementara kau sangat berharap rembulan selalu bulat utuh. Aku ingin menyusun keping-kepingnya menjadi teka-teki, dan kau tak mau berbuat apa-apa kecuali memandanginya dengan seksama sebagai bagian dari ritual meditasi.
Di sini, aku menyembunyikan dinihari di kedalaman hati, sedangkan kau menyembunyikan hati di puncak kegelapan dinihari.
Karena itu, teruslah bermain hujan selama musim masih berkenan.
Aku akan terus menata kenangan yang ternyata telah menidurkanku habis-habisan.
Jakarta, 20022020