Apa yang kulihat dari langit malam? Di sebuah kota besar yang berusaha keras menyembunyikan waktu di balik pintu, dan hanya membukanya ketika cahaya datang bertamu?
Banyak nian. Aku bisa menjadi saksi yang memberatkan sekaligus meringankan. Apabila kota dijadikan terdakwa dalam sebuah kasus kehilangan.
Kota dengan semena-mena menyediakan loker-loker raksasa untuk menyimpan hati penghuninya. Katanya tak perlu membawa hati kemana-mana karena cita-cita itu akan sulit digapai jika masih membawa hati yang mudah sekali membadai.
Kota secara jumawa mengeringkan sungai-sungai demi memindahkan lautan. Menurutnya sekarang adalah saatnya berlayar menggunakan kapal-kapal besar, dan bukan lagi perahu kecil bercadik yang mudah membuat keinginan tercabik-cabik.
Kota dengan angkuhnya membangun pelataran mewah dengan beranda yang megah. Tapi melupakan halaman belakangnya yang rusuh, gaduh, dan orang-orangnya makan, minum, serta mandi menggunakan genangan peluh.
Namun,
Kota juga sosok pertapa yang sering berusaha menjernihkan hatinya pada dinihari pukul dua. Mendoakan para penghuninya yang terlelap dalam dengkur yang senyap, agar berjumpa dengan mimpi terbaik yang berkeliaran di masing-masing kepala.
Kota adalah tubuh raksasa yang melahap bulat-bulat segala bentuk pertengkaran dan mendamaikannya di halte, stasiun, dan pelabuhan. Kemudian memasang rambu peringatan di sudut-sudut jalanan; sudahi semua pertikaian, lebih baik jika kita bersama-sama mulai menyiapkan sarapan.
Kota di tengah malam buta adalah contoh paling tepat bagaimana cara pergi agar tidak tersesat. Di antara udara kotornya yang mampat, kota masih menyimpan petunjuk arah supaya para penghuninya tidak cepat kehabisan darah. Akibat sehari-hari terlalu sering meledakkan amarah.
Jadi,
Jika kota jadi diadili, maka lihatlah raut mukanya baik-baik di siang hari. Tapi jangan pula lupakan untuk perhatikan wajahnya pada saat dinihari.