Setangkai bunga lepas dari tangkainya. Helaian-helaian berwarna putih mendarat pelan di tanah yang seketika itu juga menundukkan muka. Sepenuh-penuhnya berbela sungkawa. Ini peristiwa gugurnya bunga langka. Sehelai bunga bangsa.
Udara di atas Jakarta berhenti bergerak. Memberikan jalan beberapa jenak. Kepada wangi yang menguar dari terbitnya doa-doa di penghulu dan penghilir Sumatera, pinggang dan punggung Kalimantan, pesisir dan pegunungan Sulawesi, pulau-pulau di Maluku, rimbun belantara Papua, tanah-tanah eksotis Nusa Tenggara, dan haribaan pertiwi di daratan Jawa.
Langit di atas Nusantara siap mengirimkan hujan. Tapi bukan ratapan. Seorang besar yang dilahirkan untuk menjadi bagian dari nahkoda negara, tidak pantas jika kepergiannya diperingati oleh sedu sedan tangisan. Seharusnya diiringi dengan kalimat-kalimat yang menggugah. Seperti dulu Beliau berdiri dengan gagah. Di depan mimbar sembari bersumpah; bangsa kita bukan bangsa pengalah dan tidak akan pernah kalah selama otak kita tidak dijejali rasa rendah diri sebagai bangsa yang pernah terjajah!
Di ufuk tempat matahari terbaring sendirian, kita pernah kehilangan Bung Karno, Putra Sang Fajar yang tak terlupakan. Kita pernah kehilangan Bung Hatta, Sang Proklamator tercinta. Kita pernah kehilangan Suharto, Komandan Serangan Fajar yang diriwayatkan secara luar biasa. Kita pernah kehilangan Gus Dur, Bapak Pluralisme yang tak pernah kehabisan canda. Dan kini kita kehilangan BJ Habibie, seorang pemimpin besar yang kisah cintanya begitu melegenda.
Selamat jalan wahai pemimpin yang tak pernah mau berhenti bermimpi. Demi anak-anak bangsanya berdiri sejajar dengan matahari. Kami, kehilanganmu. Tapi kami, tak pernah kehabisan asa seperti cita-citamu.
Pekanbaru, 11 September 2019