Pecahan sunyi ini merubah nyaris keseluruhan narasi. Ketika kata demi kata -tanpa tanda baca- terus saja mengaliri ceruk jiwa. Saat makna demi makna -tanpa jeda- tak henti-hentinya menjauhi kedalaman rasa.
Aku, sebatang tubuh yang memutuskan gagu, mengaku telah dikoyak-koyak rindu.
Namun aku, sepotong hati yang kaku, terlalu banyak menunggu. Tanpa keinginan kuat untuk berburu di belantara mau.
Sedangkan, hujan saja tahu Siapa yang telah menciptakan rintiknya. Mengangkatnya ke angkasa, terkumpul dalam partikel-partikel yang pada akhirnya moksa, dalam sebuah petrikor mahakarya.
Sedangkan, kemarau saja paham Siapa yang telah mengeringkan anginnya. Meniupkan ruh panas dengan batas-batas yang pas. Sehingga sanggup menggurunkan padang rumput. Juga menyiangi kerimbunan laut. Ke sebuah partitur cuaca yang patut.
Aku, pengaku rindu yang tak tahu malu, mesti belajar banyak kepada hujan, bagaimana cara terbaik untuk mengingat Tuhan.
Aku, pemburu mau yang tak layak berucap rindu, harus bersimpuh di hadapan kemarau yang getas, mendengarkan baik-baik bagaimanakah cara paling pantas, memanjatkan doa-doa hingga sampai ke Atas.
Mungkin aku, sekujur dungu yang lama tenggelam dalam orkestra bisu, perlu mengaransemen ulang nada-nada rindu, kepada Satu-satunya yang berhak menyandang angka Satu.
Jakarta, 20 Juli 2019