Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Tayang Ulang Masa Lalu

15 Juni 2019   00:39 Diperbarui: 16 Juni 2019   18:23 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay.com

Di depan layar bioskop yang kesepian karena selalu saja berkisah tentang romantika, peperangan, kepahlawanan atau horor orang mati yang menakut-nakuti dan sama sekali tidak pernah bercerita tentang dirinya sendiri, aku memandangi kainnya yang seputih susu sapi setelah difermentasi, memucat ketika berduyun-duyun penonton pergi.

Aku membayangkan dirinya pasti lebih kesepian sekarang. Berdiri di hadapan tumpukan kursi yang berjajar rapi. Tanpa riuh tepuk tangan, gelak tawa atau sedikit caci maki.

Aku membayangkan diriku di sana. Di atas panggung tak berwarna yang menyuguhkan pementasan atas kegelapan, tanpa cahaya, tanpa suara. Aku mungkin bisa berekspresi lebih menggila dengan mengakui semua hal dan segala rupa.

Bahwa aku ini sebenarnya seorang pecinta yang nyaris gagal mencintai, seorang pengkhayal yang terus-terusan berharap dunia di dalam kepala berputar sekehendak hati. Lantas kemudian meminta mati karena patah hati.

Bahwa aku pernah mati-matian bersekutu dengan masa, memusuhinya, lalu memeranginya dengan membabi-buta. Karena sebab dan perkara yang aku sendiri tak tahu apa. Aku hanya tak menyukainya. Itu saja.

Bahwa aku pernah membuat ibuku menangis dalam diam karena aku lebih memilih tenggelam ditelan waktu senggang daripada harus muncul di permukaan lalu ditampari gelombang yang sedang pulang menuju pesisir yang lengang.

Bahwa aku pernah mengingkari datangnya matahari dengan selalu memunggungi pagi hingga akhirnya petang membangunkanku dengan segenap perasaan benci. Barangkali.

Bahwa aku pernah berusaha memusuhi malam sampai-sampai aku membakar sekelilingku dengan amarah yang tumpah ruah sehingga aku tak pernah kehilangan nyala api di kepala yang dipenuhi dengan sumpah serapah. Entahlah.

Bahwa aku pernah mengotori langit dengan prasangka akan hujan setelah melihat mendung berkumpul padahal mereka hanya melakukan upacara peringatan akan adanya pergantian shift jaga atas cuaca.

Ini semua tentang tayang ulang masa lalu yang sedikit banyak membuatku dungu bila tak habis-habisnya terus saja mencambuki benakku yang terlalu lama membatu kepada hal-hal tak tentu. Begitu.

Jakarta, 15 Juni 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun