Di hadapan angan-angan yang seharian diaduknya bersama hitam putih harapan, seorang perempuan mengelus keinginannya untuk mengingat kembali apa yang telah hilang. Di meja makan, peraduan dan juga tirai tingkap yang berlubang. Berulang-ulang.
Kepada cinta, sepotong kata yang sekian lama memenjarakan hatinya dalam kesendirian yang tak punya niat mencari keramaian. Baginya, berteman dengan pagi yang bersahaja adalah cara terbaik untuk menghindari senja. Semburat merahnya yang menawan akan selalu mengingatkannya pada sebentuk senyuman yang telah mengenalkannya pada kata kehilangan.
Kepada airmata, pecahan kaca yang mewakili hadirnya duka setiap kali dia bercermin di depan kenyataan, perempuan itu selalu saja menghitung berapa banyak bulir-bulirnya berjatuhan. Dia merasa berhutang pada kebahagiaan daripada berkabung terhadap kekecewaan.
Kepada harapan, sebentuk pikiran yang diskenariokan sebagai alasan untuk melanjutkan hidup yang dianggapnya karam, perempuan itu selalu menyimpannya baik-baik pada sebidang perasaan. Di kedalaman hati, harapannya tak akan pernah mati. Terhadap sebuah keyakinan bahwa sunyipun tak akan betah berlama-lama sendiri.
Kepada kehilangan, perempuan itu menyimpannya dalam wujud kenangan yang telah dikain kafan. Menguburnya di pemakaman masal masa silam. Untuk kemudian merawatnya dengan doa-doa agar tak lagi menjadi arwah penasaran dan kembali hadir bergentayangan.
Jakarta, 17 Mei 2019