Sejujurnya, kau datang menunggangi hujan tanpa pelana. Kakimu tersangkut pada sanggurdi yang tak dilengkapi tanda mata. Entah belum ada pemiliknya, atau sengaja tak hendak siapapun memilikinya.
Itu artinya kau memang berniat mengembarai malam. Bersama bayang-bayang rembulan yang habis dicincang waktu. Sisa sedikit untuk mencahayai meja kayu. Untuk orang-orang belajar mencintai. Bukannya berujar saling melukai.
Pada setiap kerumitan yang kau bawa serta. Terdapat hal-hal sederhana bagaimana cara memberi suaka kepada cinta yang belum paripurna.
Di langkan dinihari. Atau mungkin dalam ceruk mimpi yang paling sepi.
Barangkali malah tidak pada keduanya. Suaka adalah tempat paling aman untuk menerbitkan jurnal-jurnal yang bertuliskan lafal cinta. Jadi tak ada gunanya jika masih juga berairmata.
Lain kali jika kau ingin datang lagi. Cobalah mengendarai sayap-sayap matahari di pagi yang masih sadar diri. Kau akan disambut kicauan cerdas burung-burung kenari. Juga gurauan meranggas embun-embun yang bergantian bunuh diri.
Itu namanya mendatangi alamat yang tepat untuk sekedar bertamu, atau bahkan selamanya menitipkan hatimu. Itupun jika kau mau.
Bukankah begitu?
Atau aku harus memaksamu mengaku?
Jakarta, 26 Maret 2019