Ketika orang-orang semakin pandai berbicara, malam larut dalam banyak percakapan. Berdengung membicarakan banyak hal. Sehingga malam tak lagi sakral.
Padahal ruang waktu seharusnya menjadi kutu buku. Membaca buku-buku terbitan baru. Di bawah temaram bulan yang mendadak juga tak mau mengaku bahwa dirinya gagu.
Mulut-mulut lapar lantas menjadi comberan. Terbuka menganga mengeluarkan lalat-lalat beterbangan. Mengerubungi isu-isu bau. Lalu menyiraminya dengan minyak wangi terkini. Sehingga setiap isu terlihat manis dan rapi.
Ketika orang-orang semakin ramai berbicara. Tanpa memperhatikan lagi jeda. Orang-orang lainnya terpaksa memenjarakan telinganya. Ke sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk. Menyelamatkan isi kepala mereka yang sibuk menjadi kikuk.
Dunia memproduksi televisi lebih banyak dari roti dan nasi. Pada layarnya yang hanya beberapa inchi. Para politisi mengiklankan mulutnya dengan sempurna. Sedangkan para pemirsanya tergagap-gagap untuk mencerna.
Orang-orang terlalu ramai berbicara. Tentang siapa dan apa yang bisa dilakukannya. Bukan tentang apa dan bagaimana akan melakukannya.
Kita, menjadi busa. Menyerap banyak hal. Untuk kemudian berpikir seperti bagal. Karena setiap kalinya disodorkan pada pilihan-pilihan gagal.
Pekanbaru, 22 Maret 2019