Di hadapanku, tergeletak banyak buku-buku. Bercerita tentang kota yang menua di ujung mata, tak lagi megah dipandang, usang sebelum waktunya, bahkan sebelum menjadi puing dan reruntuhan, yang kelak ditimbunkan di pemakaman.
Kemudian cerita tentang desa-desa yang menjanda, kehilangan para ayah yang merantau, di tempat banyak laron mencari lampu, dan belatung-belatung yang menunggu, menggerogoti sisa-sisa pengharapan, yang sudah lama tanggal lalu ditinggalkan.
Lalu cerita mengenai aliran sungai yang berhenti. Di perumahan-perumahan padat yang sangat sepi. Orang-orangnya pergi mengungsi. Ke bukit-bukit tinggi di mana mereka bebas tak beralas kaki. Sekaligus juga berkontemplasi. Di sisi sebelah mana salah mereka sampai bumi tak hendak lagi mengasihani.
Juga cerita mengenai lautan yang mengendapkan rasa sakit. Di pesisirnya yang ditumpuki bukit-bukit plastik. Â Airnya tak lagi asin. Namun berasa pekatnya alkalin.
Buku-buku itu bercerita apa adanya. Padahal aku ingin mengingkarinya.
Supaya aku tak jadi tersangka.
Lalu didakwa sebagai penyebab itu semua.
Jakarta, 8 Maret 2019