Kita sempat berselisih dengan fasih. Tentang rahim memori yang mengering. Dikuras tuntas oleh kenangan cinta yang terlalu hening.
----
Di depanmu, aku sempat menjadi kaya, serasa memiliki segalanya.
Bahkan aku berusaha mengambil alih isi dunia. Dengan cara-cara tak biasa.
Bulan aku jadikan mainan, suatu saat kujatuhkan ke pangkuan, di lain waktu kuseret sejauh-jauhnya agar tak kelihatan. Aku bosan.
Matahari aku simpan di pelataran, terkadang aku jadikan perapian, lain kali aku jerang demi membasahi jahanamnya tenggorokan.
Selain kamu, hujan aku pilih menjadi kekasih. Aku menyukai ketika gerimisnya merintih-rintih, membuatku sangat terlatih, bagaimana cara mendengarkan melodi cantik dari nada-nada pedih.
Bumi kuanggap sebagai ibu yang terus melahirkan anak-anak durhaka. Begitu dilahirkan, langsung saja menghisap payudara ibunya hingga tak bersisa. Dengan cara berebutan, saling tikam, baku hantam, sampai tubuh ibunya biru lebam.
Senja adalah satu-satunya tempat terbaik bagiku untuk membagi rasa. Di sana ada jejak-jejak usia yang lelah, setelah melewati fase saling berbantah, dengan diri sendiri yang takut mati, tapi menuliskan wasiat bunuh diri.
----
Bersengketa denganmu, aku kembali miskin, tak memiliki apa-apa, pun bahkan setetes bisa.
Lantas saja aku diambil alih dunia. Dengan cara-cara yang sangat menyiksa.