Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Trilogi Puisi, Secangkir Hujan

15 Januari 2019   20:53 Diperbarui: 15 Januari 2019   21:11 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
travel.tribunnews.com

dari cangkir yang terbuat dari tanah liat, hujan didisposisi berdasar mufakat; musim ini, ada baiknya hujan dinobatkan sebagai permasuri hati, bagi orang-orang yang tak mau melepas kehendaknya untuk selalui mendahului mimpi.

mimpi tidak selalu berada paling depan. Ia adalah hulubalang. Mengawal upacara kegagalan dan perayaan keberhasilan. Setelah keinginan berpusar-pusar ibarat daun kering. Dipermainkan angin. Lalu mendarat di tempat yang dingin.

tempat yang dingin biasanya lebih beradab daripada tempat yang berangin. Angin akan dengan mudah mengombang-ambing ingin ibarat perjalanan seorang Ronin. Sedangkan dingin hanya sekedar menggigilkan ingin yang tertekuk gagu seumpama lampin yang bisu.

secangkir hujan. Bagi retak kerongkongan. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan. Apakah itu bagian dari ritual atau sebuah fase yang gagal. Bukan alasan untuk menjadi jagal. Atas rencana-rencana yang terlihat janggal.

secangkir hujan untuk tuan-tuan yang mempertuan dirinya sendiri, melalui penghambaan tak habis-habis. Atas perkara-perkara utopis. Minumlah secangkir hujan itu. Sebelum kalian beku dikoyak-koyak waktu!

Bogor, 15 Januari 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun