Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jejak Hujan yang Hilang

31 Desember 2018   22:26 Diperbarui: 31 Desember 2018   22:26 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hdwallpapersrocks.com

Jejak hujan menghilang dari pipimu yang seringkali jadi tempat luncuran.  Mungkin karena kau sekarang mentranformasi dirimu menjadi awan. Induk semang hujan.

Kau tak patuh lagi terhadap perintah untuk meratap-ratap terhadap derita, nestapa, dan duka. Kau sering membaca buku-buku tentang Tuhan yang tak mau hambanya menangis, hanya karena kepalanya ditampar gerimis.

Beberapa kesakitan memang sempat singgah. Kau tak lagi menganggap itu sebagai kegelisahan yang harus diperam hingga matang menjadi kekacauan. Kau berdiri tegak dengan mata mengancam; pergilah atau aku akan membuat kesakitanmu kalah!

Sebenarnya aku ingin menguji. Dengan menyusupkan beberapa macam elegi. Namun tentu aku tidak sekejam para algojo yang menakuti dengan jeratan tali. Aku hanya akan mendatangimu dalam mimpi. Menyuruhmu berkelahi melawan rindu. Dengan harapan kau tidak menyerah terhadap pilu.

Aku bertabik kepadamu. Dengan caraku.  

Menuliskan sajak-sajak yang membadaikan rindu. Agar kau tahu bagaimana sebuah sajak bisa membuatmu semakin tegar membatu.

Jakarta, 31 Desember 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun