Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Angin di Birai Jendela

3 November 2018   16:40 Diperbarui: 3 November 2018   16:36 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sedikit lagi pembacaan hujan menjelang tamat. Aku menyisakan gerimisnya sebagai teman meminum segelas teh hangat. Di dalam rintiknya yang lamat-lamat. Aku bisa mendengar senandung tembang mocopat.

Tembang ini bisa membaca sifat. Mengenai asal usul hidup dan juga kematian. Apakah selama hidup seringkali terperangkap redup. Atau berkubang cahaya lalu terbakar bersamanya. Tak ada pilihan yang sederhana. Hidup memang kerumitan pada level sempurna.

Dengan apa mocopat membacakan sifat kematian. Apakah dengan membiarkannya mati kedua kali dalam kesunyian. Atau mati sekali saja namun terjebak pada keriuhan. Sekali lagi ini pilihan yang sulit. Seperti memilah pahit dari banyak rasa sakit.

Saat nanti hujan berhenti. Aku ingin mendengarkan mocopat lagi. Kali ini ditembangkan oleh angin yang berbaris rapi di birai jendela. Meniupnya seolah suara seruling gembala. Menggiring sapi-sapinya agar merumput. Sebab hujan episode ini telah pulang usai dijemput.

Bogor, 3 Nopember 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun