Aku tidak merasa menjadi pahlawan. Walau kau bilang aku berhasil membangun ulang kembali cintamu setelah sekian lama hilang. Di sebuah batas kesadaran, aku tak lebih dari perantara yang membuatmu siuman.
ini tengah malam. Tulang-tulangku saling beradu, kedinginan. Tapi hati dan jiwaku diperam waktu, kepanasan. Mungkin ini demam, mungkin juga tidak. Yang jelas, aku melihat di batas langit seolah sedang dibangun pagar. Dari sekian banyak kunang-kunang yang terlempar.
jika ini memang demam. Sepertinya aku lupa meminum obat penenang. Hatiku rusuh seperti halaman belakang. Terkadang disapu namun seringkali lupa untuk dibersihkan. Sebab mata selalu memandang ke depan. Dan menengok, itu bukan perkara gampang.
pori-pori tubuhku seakan menciut menjadi sepersekian mili. Aliran darahku berpacu dengan dinihari. Menuju pagi, tapi tidak untuk fajar. Meninggalkan puncak malam, tapi tidak untuk gelap yang terus saja berdenyar.
cemara! Itu mungkin satu-satunya yang saat ini tertangkap mata. Lainnya tak ada. Aku merasa sedang berada di puncak bukit yang dililit kabut. Dan tetap saja aku merasa sebagai orang yang selalu luput.
mungkin sebaiknya aku meletakkan lelap di atas bantal. Daripada terus menerus aku dikungkung keinginan brutal. Menjahili pikiran dengan panas dingin yang bergantian menerjang. Seperti ingin minum kopi namun air tak juga dijerang.
Bogor, 16 Oktober 2018