Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Suatu Tempat yang Kita Sebut Pulang

17 September 2018   05:34 Diperbarui: 17 September 2018   23:17 1748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita saling memandang. Di batas langit yang kita sebut pengharapan. Di sana banyak bintang yang meniru kerlip kunang-kunang. Serupa dengan penunjuk jalan. Mungkin ke sana kita harus menuju. Mungkin juga tidak. Kita tidak tahu apa-apa. sebab kita hanya sebatas punya kehendak.

Pagi ini setenang kuburan. Tapi kita tidak sedang menghadiri pemakaman. Di dalam pikiran kita berkecamuk asal mula amuk. Sewaktu-waktu siap meledakkan sesuatu. Bisa rindu bisa juga paku. Tergantung di mana letak hati kita pada saat itu.

Tiba-tiba saja kita sudah berada di tepi pantai yang berangin. Semua terjadi mungkin karena kita sedang bersitegang dengan ingin. Kau mau kecomang menjadi rumahmu, sedangkan aku berharap rumah kita adalah kepompong kupu-kupu.

Di dalam kepompong kita bisa membicarakan banyak hal. Sebelum pada saatnya kita menetaskan banyak kesimpulan. Terhadap perkara-perkara yang tak usah kita sebut lagi perkara. Namun bibit-bibit badai yang mereda tepat pada waktunya.

Begitu rumah kepompong pecah sesuai perjanjian, kita harus segera terbang, menuju suatu tempat yang kita sebut pulang.

Bogor, 17 September 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun