Di malam hari. Â Puisi-puisi berjatuhan ibarat ngengat. Â Menciumi cahaya. Â Lalu mati dengan bahagia.
Di pagi buta. Â Puisi-puisi menyaru sebagai embun. Â Berkerumun dengan santun. Â Memberi kelopak mata bagi daun-daun. Â Agar dapat melihat mana pekerja mana penyamun.
Di siang yang menyengat. Â Puisi-puisi adalah keringat. Â Menyumbat pori-pori. Â Menggegaskan hari agar segera berlari. Â Terlalu panas bisa menghanguskan benak. Â Sehingga udara yang tak bergerakpun setajam onak.
Di senja yang menua dengan sendirinya. Â Puisi-puisi menjadi warna. Â Melebihi pelangi. Â Dengan tambahan gradasi warna surga, rindu, sunyi dan mimpi. Menerjemahkan frasa merindukan surga lewat mimpi yang sunyi.
Potongan puisi. Â Dalam setiap penggalan waktu. Â Berubah sesuai arah dan cuaca. Â Juga cara-cara. Â Biasa, berduka atau berjenaka. Â Tergantung pula kepada siapa puisi itu diberikan nyawa. Â Kepahitan, kesakitan, atau bunga-bunga.
Potongan waktu. Â Dalam setiap penggalan puisi. Â Bisa menua sebelum saatnya. Â Atau kembali muda usai dicerna. Â Atau mungkin hanya berdiri di situ-situ saja. Â Tak bergerak tak beranjak. Â Seperti jam yang berhenti berdetak.
Untukmu. Â Penggalan puisi yang terjadi, sama dengan berjibakunya waktu melewati angka demi angka yang berliku. Â Menuju angka yang paling tepat untuk dirindu.
Untukku. Â Penggalan waktu selalu berusaha keras untuk menyatu, kepada potongan puisi yang entah bagaimana selalu berjanji untuk mencintai.
Bogor, 25 Agustus 2018