1)
Nyinyir. Â Ya, kemarau tiba-tiba menghamburkan begitu banyak kata yang sumir. Â Di dalam ruang-ruang musim yang diperuntukkan untuk cuaca, kemarau merasa sebagai anak yang putus asa. Â Kedatangannya jarang ada yang menunggu. Â Orang-orang lebih mencintai hujan. Â Hujan lebih bisa mengasuh kenangan. Â Sedangkan kemarau justru banyak berperan menghapusnya ke dalam kehangusan.
2)
Kemarau merasa dipaksa menjadi tentara. Â Di setiap pergantian zaman, kemarau harus membakar sisa-sisa peradaban. Â Tentu saja melalui kelaparan dan peperangan. Â Sawah dan ladang dikeringkan. Â Bulir-bulir padi dan gandum dikosongkan. Â Sungai dan danau dihisap hingga berasap. Â Pada akhirnya perjalanan waktu harus selalu dibuat memucat.Â
Moncong meriam dan ujung peluru di asapi. Â Darah yang tumpah mesti segera dipanggang matahari. Â Jika tidak, bau anyirnya akan menimbulkan amarah berikutnya. Â Dan terjadilah peperangan selanjutnya.
3)
Anak-anak lebih suka berlarian riang di tengah hujan. Â Menyecap setiap rintiknya yang jatuh di mulut. Â Seolah hujan adalah rasa manis yang lembut. Â Tak ada yang mau berlarian di tengah kemarau. Â Itu sama dengan mengirimkan teluh kepada peluh. Â Membuat segala kekuatan hidup menjadi rapuh. Dan akhirnya runtuh.
4)
Di saat kemarau pergi. Â Tak ada satupun yang menangisi. Â Paling hanya isak tertahan dari purnama. Â Tak ada orang yang mau keluar malam menatapnya mesra. Â Langit terlalu banyak ditanami mendung. Â Menghalangi pinta dan doa-doa yang murung. Â Agar bisa terbang tinggi membubung.
5)
Di saat hujan datang. Â Kemarau tak akan dikenang. Â Semua nyanyian diantar oleh musik yang disuarakan gerimis. Â Bukan oleh bunyi daun-daun kering yang menggulung dalam irama kekeringan yang ritmis.Â