Ibarat memasang pelana. Â Di punggung kuda yang tak siap berlari. Â Yaitu ketika kau meminta cuaca mengirimkan hujan sementara kemarau baru saja tiba. Â Itu cukup mengada-ada.
Itu sama dengan menambal perahu. Â Memakai getah daun beluntas. Â Kemudian kau mendorongnya ke lautan. Â Hanya untuk menyaksikannya tenggelam.
Kau tak bisa mencurangi cuaca seperti kau bersiasat dalam hidupmu untuk tak berusaha sedikitpun mengingat lupa. Â Pada hal-hal yang memancing keluarnya kekecewaan di saat kau ingin bergembira secara abadi.
Pada masanya hujan datang dengan riuh rendah kau malah menengadah ke arah langit dan memintanya agar menghentikan sedekah. Â Kini langit meluluskan permintaanmu dengan mempersilahkan matahari agar mengeluarkan sengatan lebah. Â Kembali kau menolaknya dengan alasan keringat terlalu banyak tumpah. Â Gerah.
Lalu sebenarnya maumu apa?
Kenapa tidak sekalian saja kau memangsa cuaca sehingga mudah bagimu untuk memuntahkannya sekehendak rasa?
Bahkan Tuhan pun mungkin sedang menggeleng-gelengkan kepala.
Jakarta, 20 Juni 2018