Aku sengaja membiarkan. Â Saat kau meraih angin yang lewat lalu kau gelung di rambutmu. Â Seperti tusuk konde berikut ronce-ronce. Â Putri istana yang sedang kasmaran. Â Kepada sosok pangeran yang belum dilahirkan.
Keputusanmu untuk menghilangkan bab tentang langit yang terluka tentu saja aku tentang. Â Langit itu bukan cuma terluka. Â Tapi sangat terluka. Â Darahnya yang berwarna biru meleleh tak habis-habis. Â Hanya tinggal kelabu yang juga teriris-iris.
Begitu kau pilih dinding kamar menjadi alas tidurmu. Â Bukannya ranjang yang sudah susah payah aku anyam dari perhitungan rindu. Â Aku sedikit kecewa. Â Tapi tak apa. Â Mungkin itu hanya untuk sementara. Â Karena kau sedang mengujiku. Â Kau pikir aku kurang dalam pelajaran cinta.
Ketika kau terbangun aku berharap kau ingat aku. Â Ingat bahwa aku sangat mengingatmu. Â Itu akan menyembuhkan sedikit lupamu. Â Pada kenangan yang rupanya datang berulang. Â Seperti siaran dalam sebuah pertandingan saat gol bersarang.
Beranda. Â Sebuah tempat yang kau katakan sebagai museum masa lalu. Â Kau pajang banyak fragmen cerita yang terputus-putus. Â Sebab memang belum pupus. Â Meski kau bersikeras bahwa itu akan kau hapus. Dan itu ternyata tidak gampang. Â Apa yang terangkum di situ sekeras tulang belakang.Â
Akhir cerita. Â Bukan berarti semua sudah berakhir. Â Kau tahu apa itu menhir? Ribuan tahun tetap saja bisa dianggap sebagai saksi berlakunya sebuah takdir.
Bogor, 17 Juni 2018