Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hidup yang Menyala dan Redup

15 Juni 2018   09:23 Diperbarui: 15 Juni 2018   09:59 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Waktu libur telah habis. Mulut ini mudah lagi mengundang gerimis. Mata ini kembali bisa diperbudak tangis. Tangan ini gampang saja menuliskan pagi, dengan caci. Hidung ini cepat sekali membaui hari, dengan dengki. 

Jikapun terjadi.  Aku punya alasan kuat untuk mengelak. Aku manusia.  Kubangan dosa. Itu semua biasa. Toh aku bisa minta ampun kapan saja. Aku yakin Tuhan akan mengampuniku. Dengan cara-cara yang sama sekali aku tidak tahu. Seperti aku tidak tahu apakah cara itu ternyata bisa menyakitiku.

Aku pernah gagal menepis kerinduan. Mencengkeram malam-malamku ke dalam kesunyian.  Seperti hujan.  Menjatuhi atap tidurku berulang-ulang. Sampai aku bermimpi benarkah ini musimnya. Atau barangkali ini karena kemarau ikut gagal tiba.

Aku sedang merapikan lemari buku. Beberapa bacaan di situ menyuruhku berbaik sangka. Terhadap angin yang kadang membadai.  Terhadap kabut yang kadang memekatkan. Terhadap arah yang kadang menyesatkan.

Begitulah hidup. Menyala dan redup.  Seperti lampu jalan yang terang benderang. Beberapa saat kemudian mendadak padam. Tak ubahnya jas mengilap yang tiba-tiba berubah menjadi kain kafan.

Bogor, 15 Juni 2018


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun