Langit dicelup tinta hitam. Â Kelam. Ditambah sunyi yang mencekam. Â Jadilah suasana beranjak muram. Â Seperti sebuah skenario di atas kertas buram. Â Dituliskan oleh kening yang berkerut. Â Dilenterai sedikit kabut.
Ini cerita tentang pagi yang berbeda. Dari sepotong hari yang kehilangan cahaya. Â Habis dihamburkan. Â Untuk menerangi malam yang belingsatan.
Terdengar percakapan dari ufuk. Â Antara janin matahari dengan ujung sepi;
 Nampaknya hari ini adalah hari aku tidak bermata.  Dunia memilih untuk membuta.  Percuma saja aku membagi cahaya.  Jika hanya untuk menyinari jelaga.
Sepi itu keputusan. Â Bukan kesimpulan. Â Apabila kau memutuskan tanpa cahaya. Â Bagaimana taman itu akan dipenuhi bunga.
Masih ada hari yang lain. Â Saat orang-orang saling menukar ingin. Â Aku tidak perlu mengemudikan mau. Â Manakala mereka sama sekali tak mau tahu.
Hari yang lalu adalah kenangan. Â Sementara hari ini adalah kejadian. Â Sedangkan besok adalah ramalan. Â Jadikanlah cahaya! Â Seperti yang selayaknya.
Percakapan itu patah. Â Langit mulai berdarah. Â Menyeret segala gairah. Â Hingga tumpah ke segala arah.
Celupan tinta hitam telah mengering. Â Diangin-angin. Â Bersamaan dengan pagi yang cepat mendingin. Â Mempersilahkan bunga-bunga bermekaran sesuai dengan namanya masing-masing.
Jakarta, 24 Mei 2018