Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hujan dan Musik yang Mengiringinya

20 Mei 2018   21:39 Diperbarui: 20 Mei 2018   21:51 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pada saatnya hujan akan berhenti.  Begitu rahim langit kosong.  Melahirkan dibantu angin.  Menggiring rintik hujan menjauh.  Dari kubangan tempat segala lusuh dibasuh.

Pada masanya lidah petir menyinggahi pucuk kelapa.  Meminum airnya yang berasa sedikit cuka.  Beginilah masam itu dicipta.  Melengkapi adonan rasa apa saja yang tersedia di dunia.  Agar tidak terpaku pada manis dan pahit.  Seperti juga tidak menggerutu pada sulit dan rasa sakit.

Musik itu kembali datang.  Menabuh tambur ketika menderas.  Mengalunkan melodi saat tersisa gerimis.  Alam pikiran dibawa kemana-mana.  Tempat-tempat yang belum pernah didatangi.  Dalam himpunan lamunan.

Air yang pecah menghantam jalanan.  Berhamburan mencari jalan pulang.  Ke muara tempat ibunda berada. 

Air yang terperangkap di daun-daunan.  Berkilat diterpa sinar lampu.  Seperti perpaduan bintang-bintang.  Dengan telaga yang menenggelamkan bayangannya.

Air yang membasahi kepala.  Membuka ingatan tentang beberapa perkara.  Ketika lupa menghantui rencana.  Malam ini harus menyanyikan apa.  Mengiringi tetabuhan hujan yang serupa renjana.

Bogor, 20 Mei 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun