Ketika sungaimu hanyalah kali kecil yang hanya cukup mengalirkan gemericik air tanpa bisa mengairi seluruh hamparan sawah-sawah, kau langsung memintal hujan agar tubuhmu sebesar air bah. Â Kau ingin berguna dengan bersicepat membanjiri segenap permukaan tanah. Â Itu namanya kau salah kaprah.
Ketika selimutmu hanyalah setebal kain kasa di saat malam menusuk seluruh pori-pori dengan kedinginan, seketika kau memohon agar ada api jatuh di daun-daun yang mengering lama di halaman. Â Kau bakar semua titik beku menjadi titik didih. Â Karena kau pikir semua orang sedang menggigil merintih-rintih. Â Kau lalu buru-buru mempersiapkan dalih.
Ketika makananmu untuk berbuka hanyalah sepotong kurma dan setetes cuka serta beberapa bulir airmata, kau berharap ada bukit penuh pohon kurma berpindah di pekarangan, juga tumbuhnya mata air di bawah rumpun bambu sebelah rumah, juga berhelai-helai bibit tawa yang kau ambil dari semua peristiwa lucu di dunia. Â Rupanya kau sedang mengada-ada.
Ketika semua hal menjadi begitu berlebihan karena pikiran digosok panas setrika, kau memutuskan kecemasan adalah isyarat untuk berlari cepat. Â Tidak ada yang memburumu tapi kau bertingkah sangat terburu-buru. Â Waktu bagimu menjadi seperti hantu. Â Mengejar-ngejar di belakangmu sambil menyumpah-nyumpah supaya kau mempercepat langkah.Â
Kau tahu bisa saja kau tersandung batu-batu yang justru bermunculan dari balik kepalamu. Â Kau sadar mungkin saja kau terpeleset licinnya jalan yang diaduk oleh lumpur dan lumut yang hadir begitu saja di antara keringatmu yang mengucur.
Lantas semuanya menjadi kabur. Â Matamu menjadi lamur. Â Hatimu diliputi keputusan mengabut. Â Kemudian malam ikut-ikutan kalang kabut. Â Membekapmu dalam pengap. Â Menindihmu di puncaknya gelap.
Jakarta, 17 Mei 2018