Seorang lelaki tua meletakkan topinya di meja. Â Hampir tersenyum bahagia. Â Melihat anak perempuannya menikmati makanan siap saji. Â Dengan mata berbinar seolah menemukan medali.
Seorang anak menabrakkan pandangan. Â Pada kemewahan yang terhidang di hadapan. Â Matanya berkata; Bapak terimakasih. Â Sudah lama aku ingin menyantap rasanya seperti apa. Â Tidak hanya dari iklan teve tua di balai desa.
Sebuah fragmen kehidupan lalu lalang di depan hati. Â Setiap hari. Â Di sudut-sudut yang tak terjangkau matahari.
Sebuah opera sederhana. Â Dipentaskan dengan cara semenjana. Â Oleh orang-orang biasa yang bahagia setelah berhasil menyebut nama Tuhannya. Â Di ujung lidah yang tak mampu lagi berkata-kata.
Sebuah drama luar biasa. Â Di panggung dunia kaca. Â Memantulkan bayangan warna-warni. Â Begitu wajah-wajah berseri memunculkan diri. Â Terhadap kata peduli.
Lelaki tua itu berdiri. Â Menghela nafas dengan kedalaman puluhan kaki. Â Melihat gadis kecilnya menjilati tangan bekas sambal. Â Menatap langit yang masih berusaha ditambal. Â Agar kelak tidak membocorkan rahasia. Â Bagaimana hidup ternyata diputar apa adanya.
Gadis kecil itu tersenyum kepada sebuah papan nama. Â Berbisik lirih tanpa suara. Â Menggumamkan kata tanpa nada; aku sudah tahu rasamu seperti apa.
Jakarta, 22 April 2018