Seringai kecil di matanya. Â Ketika melihat sandyakala. Â Seperti Srikandi sedang mementang gendewa. Â Mengarahkan mata panah berajah. Â Ke wajah sandyakala yang memerah; berhentilah membuat perkara. Â Aku tak mau malamku kehilangan purnama. Â Begitu katanya.
Selama ini. Â Seringkali dia menjumpai sandyakala dengan hati suka cita. Â Sandyakala adalah tamunya yang istimewa. Â Sekaligus musuhnya paling utama.
Kali ini. Â Sandyakala sedang mengajaknya bermusuhan; ini sudah dimulai. Â Aku akan memberimu sebuah mimpi. Â Tentang mahabarata yang ditulis ulang. Â Kau adalah seorang saksi. Â Bagi purnama yang tak jadi datang.
Perempuan itu menipiskan tatapan. Â Sembari menghalau penanya di tangan. Â Menjeritkan kata-kata tanpa suara di dalam tulisannya; aku adalah pejuang! Seberapa banyakpun kau tumbuhkan onak. Â Pantang bagiku untuk tidak memberontak.
Keduanya saling pandang. Â Perempuan yang bersanggul ombak. Â Dengan sandyakala yang mulai mengirimkan petang beriak.
Keduanya saling melempar kalimat berima. Â Dengan musim, warna dan kata.Â
Ujar Sandyakala; cuacaku berhujan saga. Â Merahku adalah Soka. Â Amarahku adalah Rahwana.Â
Dibalas perempuan itu dengan ujarnya; kemarau bagiku adalah sunyi. Â Putihku adalah Melati. Â Kesabaranku sejak lama tumbuh subur dalam hati.
Mata panah Sandyakala. Â Meluncur deras bersama datangnya malam. Â Perempuan itu tersenyum tipis. Â Sembari menyalakan bulan yang hanya segaris.
Jakarta, 24 Maret 2018