Berantakan. Â Di halaman belakang dan depan. Â Rumah yang dibangun dari serpihan kayu. Â Dan remah batu bata. Â Diikat liur anai-anai. Â Ditukangi ingatan yang luruh oleh waktu.
Pagiku selalu berserakan. Â Tak mau ditata dalam lemari kaca. Â Dipajang sebagai piala yang bisa dibanggakan. Â Seandainya saja.
Dimulai sejak dinihari. Â Pagiku pecah perlahan karena mata ini terlalu memuja mimpi. Â Terjaga bukan pilihan pertama. Â Karena dalam mimpi bebas untuk berpura-pura bahagia.
Ketika pendulum menyentuh angka empat. Â Tubuhku malah meringkuk lebih rapat. Â Terjatuh lebih dalam lagi. Â Ke kubangan semacam hologram. Â Dalam mimpi satu macam yang diputar berulang.Â
Saat pendar matahari menyusupi ruang-ruang yang sengaja digelapkan untuk menipu cahaya. Â Pagi sudah terlanjur berserakan. Â Mengumpulkannya butuh tekad dan kemauan. Â Menyusunnya kembali perlu kekuatan yang disebut iman.
Iman bukan sekedar kata bagi bunga Krisan. Â Dituliskan wanginya lalu diabaikan setelah kelopaknya bermatian.
Jakarta, 23 Maret 2018