Pagi bersurai embun. Bergelantungan seperti korban perang yang memutuskan bunuh diri. Berjatuhan di rumput yang hijaunya sedikit berpura-pura. Untuk memikat lebah dan kupu-kupu agar dikira bunga.
Sesosok tubuh mengurai kedinginan dengan memeluk sinar matahari yang menerobos di sela tajuk pepohonan. Gigilnya sangat kentara. Berbarengan dengan suara air sungai meluncuri batu-batu.
Sosok itu menatap dalam-dalam apa yang disajikan nampan alam. Tersembunyi di sana sebuah cerita yang sedang ditulisnya. Anak-anak senja yang ditelantarkan karena pagi terlalu dianggap sebagai simfoni pelipur hati. Sementara senja adalah batas pemikiran tentang akan berakhirnya usia.
Dalam benak sosok yang sekarang menggerakkan tubuh searah dengan laluan angin. Pagi memang orkestra yang dimainkan begitu drama akan dimulai. Sedangkan senja adalah usainya kisah yang terkadang meneteskan darah sesuai dengan warnanya yang memerah. Siang tak perlu dihitung karena hanya permainan waktu tentang tergulung atau beruntung.
Pagi dan senja bukan pertaruhan bagi sebuah drama. Masing-masing punya skenario sederhana bagaimana hari menyelesaikan tatanannya. Ini hanya semata awalan dan akhiran seperti layaknya angka yang disentuh oleh jarum jam.
Bogor, 16 Maret 2018