Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mencari Dua Kata

16 Februari 2018   17:24 Diperbarui: 16 Februari 2018   22:58 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi rupanya perputaran zaman tidak bisa dielakkan.  Usaha kopi dan coklat ayah Murti menemui kebangkrutannya.  Murti yang telah menikah dengan seorang dokter dan dikaruniai seorang anak perempuan yang manis, ditinggalkan begitu saja oleh suaminya.  Buah hatinya ikut dibawa pergi. 

Ayah dan ibunya meninggal dalam keadaan jatuh miskin.  Murti yang anak satu-satunya terpaksa menjual semua aset keluarga untuk menutupi hutan-hutang yang ditinggalkan oleh ayahnya.  Murti pada akhirnya tidak punya apa-apa.

Bahkan karena penjualan aset itu tidak bisa menutup semua hutang, Murti terpaksa menerima pinangan seorang pengusaha pesaing ayahnya dulu untuk menjadi istri ketiga sebagai syarat pelunasan hutang. 

Murti benar-benar jatuh ke dalam ngarai yang teramat dalam setelah diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang jelas.  Murti pergi ke kota besar dengan tujuan mencari pekerjaan sekaligus juga menyelidiki keberadaan anak tersayangnya.

Murti berhasil menemukan anaknya yang sudah beribu tiri.  Namun mantan suami yang tidak pernah menceraikan dirinya itu mengusirnya pergi.  Tanpa belas kasihan.  Murti yang putus asa dan patah harapan jatuh ke dunia hiburan malam.  Menggadaikan tubuhnya demi sesuap nasi sehari-hari.  Niat yang sebenarnya adalah menjalani hidup sambil menunggu mati.  Secepatnya kalau bisa.

------

Dan sampailah nasib Murti mengembalikan dirinya kembali ke kota kecil tempatnya dilahirkan.  Menjelma menjadi wanita yang mengisi hidupnya dengan mendatangi setiap tempat sampah di stasiun, pasar dan terminal.  Setiap hari sabtu dan minggu.  Selalu begitu.

Dulu orang-orang masih sering bertanya kepada apa Murti apa sebenarnya yang dicarinya dan Murti selalu menjawab dengan senyuman lemah.  Selanjutnya tidak pernah lagi ada yang bertanya.  Orang-orang mengira Murti syarafnya putus.  Gila.

Tapi Murti tidak gila.  Buktinya dia masih mau bekerja menjadi pelayan di sebuah toko kelontong milik orang Tionghoa yang kasihan kepadanya.  Senin sampai Jumat  Murti bekerja seperti kebanyakan orang normal.  Melayani setiap pembeli dengan normal.  Namun begitu hari memasuki Sabtu, Murti berubah 180 derajat.  Menjadi seorang wanita yang lebih tepat disebut tidak waras dibanding kebalikannya.

------

Tempat sampah terakhir di terminal.  Murti mengangkat wajahnya.  Sebuah suara yang dikenalinya menyapa dengan lembut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun