Sederhana saja. Â Aku buka jendela setengahnya saja. Â Aku biarkan angin masuk meraba dinding kamar dan lemari. Â Memberi sentuhan pada dinding yang terkelupas dikuliti masa lalu. Â Sekaligus mendinginkan lemari yang terberati beban sebab harus bisa membahagiakan aku. Â Di dalamnya banyak buku. Â Tentang kisah, dongeng dan cara menipu waktu.Â
Menjumpai pagi di saat keinginan sedang lintang pukang. Â Mengingatkan bahwa harapan adalah senapan yang dikokang. Â Membidik selusin janji kepada masa depan. Â Sebagiannya kepada sebuah danau yang dijadikan roh cerita. Â Lalu Roma yang ditulis sebagai tempat berikrar kata.
Di pagi jugalah aku selalu berhasil menyesap cahaya. Â Gelap di sudut hati harus diterangi. Â Jangan sampai terjengkang karena tersandung sudut pandang orang. Â Kataku adalah lidahku. Â Bukan cipratan ludah orang yang coba membujuk arah jalanku.
Sebagai balas budi pada pagi. Â Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Â Setiap menjumpainya. Â Aku katakan bahwa dia selalu menjadi titik awal dari bahagia. Â Tak kurang tak lebih. Â Seperti kopi yang selalu menunggu air mendidih.
Jakarta, 14 Februari 2018