Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dibayar Tunai!

11 Juni 2017   23:37 Diperbarui: 12 Juni 2017   01:23 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kelegaan mereka tidak berlangsung lama.  Seorang petugas administrasi menyodorkan kalkulasi biaya.  Satu juta katanya.  Orang orang saling berpandangan.  Parno mengambil alih situasi.  Diajaknya para pedagang yang sudah dikenalnya itu untuk berunding.  Iuran! Itu kesimpulan yang didapat dari rapat sangat singkat itu.

Semua lalu merogoh kantong dan dompet masing masing.  Gunungan receh menggelinding di meja kasir.  Lembaran lembaran lusuh memenuhi.  Dihitung dengan cermat.  Kurang lima ratus ribu lagi.  Orang orang berpandangan lagi.  Dirapatkan lagi juga percuma.  Parno merogoh kantongnya yang berisi lima lembaran merah baru hasil pertunjukan Ebiet-nya tadi.  Pas!

Semua orang tersenyum gembira.  Masalah terpecahkan.  Mereka lupa bahwa malam ini mungkin tidak membawa apa apa saat pulang ke rumah.  Mereka hanya ingat betapa bahagianya rasa membantu sesama mereka yang tidak cukup beruntung menjadi kaya.

--------

Semua kembali ke habitat pekerjaannya.  Parno melangkah keluar dengan paras gagah.  Tuhan memberikan rejeki nomplok tadi kepadanya untuk disalurkan.  Dia bahagia.  Dia ingin segera pulang untuk mengabarkan rasa ini kepada Darmi istrinya. 

Bus kota terakhir mengantar Parno pulang.  di dalam bus yang hanya berisi beberapa orang berwajah lesu karena kelelahan, Parno menghibur dengan menyanyikan lagu lagu kemanusiaan dari Iwan Fals.  Wajah wajah lesu itu seperti dibangunkan dari letih.  Seperti diguyur oleh dinginnya air pegunungan.  Ikut bernyanyi nyanyi riang.

Sesampainya di rumah, Parno mandi lalu sholat dan taraweh sendirian.  Seusai sholat, Darmi dilihatnya sedang sibuk mencuci baju sekolah anak anaknya di kamar mandi.  Parno menemani sambil menceritakan kebahagiaannya tadi.  Utuh tanpa bumbu atau penyedap rasa.

Darmi tersenyum.  Dia tidak keberatan.  Mereka memang orang kecil.  Tapi tidak berarti hati mereka adalah hati berukuran kecil.  Teringat sesuatu.

“Tadi aku dipanggil Pak Direktur lho mas.  Dia menyampaikan terimakasih atas pengabdianku selama bekerja lebih dari 15 tahun di kantor itu.  Aku senang sekali mas.  Beliau juga menyerahkan piagam penghargaan atas semua itu.  Tuh masih dalam amplop coklat besar.  Aku belum buka karena tanganku kotor sedari tadi masak dan mencuci baju.”

Darmi bangkit.  Mencuci bersih tangannya yang berlepotan sabun.  Mengambil amplop coklat besar di meja.  Menyerahkannya kepada Parno lalu kembali tekun pada cuciannya.

Parno membuka amplop. Piagam penghargaan itu istimewa.  Dia harus memberi ucapan selamat kepada istrinya.  Sebuah piagam yang indah.  Parno tersenyum dan memberikan selamat kepada istrinya.  Meletakkan kembali amplop besar itu di meja.  Sesuatu terjatuh.  Amplop berukuran kecil.  Parno mengambil dan membukanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun