Mohon tunggu...
Salas The Chosen One
Salas The Chosen One Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Salas Laoshi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesetiaan seperti Kebodohan

19 April 2012   07:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:26 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13348211431293159560

“Gavin, temui aku di Kafe Paragon 15 menit lagi. Jangan terlambat yah.” Terdengar suara yang menggetarkan hatiku 25 tahun yang lalu di ujung telepon. Saya berpikir sejenak, sudah 22 tahun kami menikah. Setelah 3 tahun saya pergi dengan “kesibukan kerjaku” dan hari ini ia begitu hangat dan ingin bertemu dengan aku untuk makan siang. Tanpa membuang-buang waktu, saya berpamitan dengan teman wanitaku yang sudah menemaniku dalam karierku hampir 15 tahun dan segera menuju Kafe Paragon yang ia maksud. Itu tempat pertama kali kami bertemu. Terlihat wanita yang saya cintai telah menunggu. Di depannya ada dua gelas coklat dengan sedikit krim vanila. “Kamu tahu nggak ibuku berselingkuh selama 20 tahun setelah 2 tahun pernikahan mereka?,”  Karen memuai ceritanya pada saat aku hendak duduk. “Nggak, kenapa? Koq baru cerita sekarang?” Dengan sikap kebingungan karena tak ada sebab, ia menceritakan masa lalu orang tuanya, dan bahkan memulainya tanpa menyapaku terlebih dahulu. “Setelah 20 tahun, dia melihat ayahku yang tidak pernah menuduhnya berselingkuh sekalipun ayahku tahu certa perselingkuhannya, ia menyadari bahwa hari itu ia harus mengakhiri cerita pengkhianatan terhadap cinta ayahku. Dia memutuskan untuk berhenti berselingkuh dan kembali kepada ayahku sepenuhnya.” “Kenapa ayahmu mendiamkannya selama 20 tahun, kenapa ayahmu menerimanya kembali?” Sungguh, aku tidak mengerti apa yang ia maksudkan tapi aku mencoba mengikuti ceritanya. “Ibuku mengatakan: Aku tahu, aku telah mengkhianatimu selama ini tapi sesungguhnya aku mencintaimu dan aku tahu kamu juga mencintaiku. Aku menyesal. Hari ini aku memutuskan untuk meninggalkan fasilitas yang glamor itu untuk mencintaimu seutuhnya.” Tanpa menunggu saya meresponi ceritannya, ia melanjutkan; “Aku tahu tentang Michele, aku tahu tentang hubungan kalian selama ini. Aku tahu kamu menjual surat lisensimu untuk memberikan kemewahan kepada wanita itu, tapi aku juga tahu kamu mencintaiku dan aku juga mencintaimu. Aku ingin selalu bersamamu, mendampingimu. Ijinkan aku membantumu jika ada masalah. May I?” Aku terkejut, syok, bingung, tidak tahu mau menanggapinya bilang apa. “Malam minggu ini kita akan makan malam bersama orang tuaku, Carla dan Carl. Di tempat ini.” “Hmm…. Aku lupa tentang Carla dan Carl.” “Yah, aku tahu. Karena itu aku tidak melupakan mereka. Aku tidak hanya ingat mereka, aku merawat dan membesarkan mereka. Itulah yang membuat aku meminta kesempatan untuk tetap bersamamu. Di saat kamu lupa, aku ingat dan mengingatkamu. Bukankah itu team work yang baik? Kita bisa bekerjasama seperti dulu lagi.” Dia, Karen bangun dari tempat duduknya, meraih tasnya dan menghampiriku. Menatapiku sebentar, mengecup keningku lalu pergi menuinggalkan kafe. Hari itu aku merasa suluruh beban hidupku terlepas. Aku yang menghianati cinta di dalam hatiku lebih dari 20 tahun. Bukan hanya membebaniku tetapi perasaan tersiksa sangat terasa begitu sakit. Setiap persoalan yang aku hadapi seakan tak terselesaikan. Hari itu aku benar-benar merasakan surga. Bukan hanya keindahan. Kebahagiaan yang tak terkira menghanyutkan semua kepenatan, kekhwatiran, ketakutan, kesuraman, dan kebutaan. Dua hari sebelum tiba malam minggu, aku mendapat kembali lisensiku dan ijin praktekku tetapi sayang, aku tidak membutuhkannya lagi. Tadi pagi, metorku telah mengurus kepergianku ke London Timur untuk menangani kasus seorang miskin (para korban genosida yang selamat) yang hendak dieksekusi mati. Tanpa bayaran. Bukan hanya itu, masih ada beberapa korban genosida lainnya yang menunggu giliran. Itu memakan waktu lebih dari satu bulan. Sekembalinya aku dipekerjakan di Lembaga Bantuan Hukum. Aku kaget, tidak habis pikir bagaimana bisa hidup jika bekerja tanpa gaji. “Bagaimana mungkin? Penghidupanku bagaimana?” Dengan nada heran dan tak percaya, aku bertanya kepada mentorku. “Aku sudah melakukannya selama ini, dan aku tidak kwatir dengan kebutuhanku. Apakah aku lebih buruk darimu? Tidak ‘kan?” “Iya, tapi ….” Tanpa mengunggu aku memberi komentar lebih lanjut, mentorku melanjutkan; “Kehidupan yang hidup itu bukan bagaimana kita mendapat keuntungan yang besar. Bukan bagaimana kita mendapat, tetapi bagaimana kita memberi keuntungan, memberi kepada orang lain. Bukan merugikan orang lain dengan mengambil keuntungan yang besar dari orang lain. Kamu pikir selama ini banyak orang yang telah kamu rugikan karena menuntut bayaran yang tinggi terhadap kasus yang wajar, itu membuatmu merasa bahagia? Istrimu yang kamu tinggalkan untuk mengejar kemewahan dengan wanita lain, apakah itu membuatmu merasa puas dan bahagia? Aku tidak peduli sebesar apa penghasilanku, yang aku pikirkan adalah seberapa banya orang yang aku bantu. Kebahagian tidak datang dari berapa banyak yang aku miliki tetapi berapa banyak yang aku beri. Coba kamu lihat aku. Ada yang salah denganku? Apakah aku melarat? Apakah anak-anakku tidak bersekolah karena tidak ada biaya? Apakah istriku tidak berbelanja tiap bulan? Apakah kamu menganggap ini kebodohan? Ambillah kesempatan ini dan kamu akan menjadi lebih baik.” Aku terdiam, terunduk, dan tidak tahu keputusan apa yang akan aku ambil. Antara sadar atau tidak sadar, aku mengangguk pertanda setuju. Lalu mentorku beranjak pergi dari hadapanku. Dalam perjalanan menuju ke Kafe Paragon, aku merenungkan keputusan yang diambil di hadapan mentorku. Kini dengan sadar aku menyetujui “anggukanku”. Aku siap memulai kehidupan yang baru dengan gaya penghidupan yang berbeda. Bukan dengan mengambil keuntungan dan merugikan, tetap dengan memberi keuntungan dan memberi. “Yah, aku akan melakukannya!” Pengejaranku dengan meminta bayaran tinggi atas kasus yang kutangani bukan hanya tidak memberikan keuntungan tetapi justru mendatangkan kasus lain dalam hidupku. Perselingkuhanku atas nama kebahagiaan mendatangkan beban penderitaan yang tak kunjung selesai. “Aku harus melakukannya!” Setibanya di Kafe, semua sudah menunggu dengan menu makan malam yang sudah tersedia. “Kami semua mengetahui apa yang kamu lakukan selama ini. Aku sudah mendapat cinta dari ibunya Karen, neneknya Carla dan Carl. Begitu juga Rose, telah mendapat cinta dariku. Karena itu kami dan Karen, Carla dan Carl memutuskan untuk memberikan cinta yang sama kepadamu, Gavin.” Ayah mertuaku memulai pembicaraan. “Kemaren pagi aku sudah mendapat kembali linsensiku tapi aku tidak membutuhkannya lagi.” “Loh, kenapa? Karen seolah-olah terkejut. “Yah, hari ini mentorku menemuiku dan memintaku untuk pergi ke London Timur untuk menangani kasus terpidana mati dari beberapa korban genosida. Mungkin aku akan menghabiskan waktu lebih dari satu bulan. Sekembalinya dari sana, aku akan bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum daerah. Aku mengerti sekarang. Hidup menjadi bermakna hanya karena cinta. Aku tidak akan merugikan orang lain lagi tetapi aku akan menolong mereka. Bukan mencari keuntungan dengan menerima bayaran yang tinggi untuk setiap kasus yang aku tangani tetap aku akan memberi sebanyak mungkin bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Aku juga mencintai Karen, Carla dan Carl. Aku juga mencintai ayah dan ibu.” Sekalipun ceritanya tidak sesederhana itu namun kehangatan, kebahagiaan, dan perasaan yang kaya melingkupiku malam itu. Karen yang duduk di sampingku membelai pundakku dan memberikan kecupan di pipi kananku. Setelah makan malam, aku meminta aku berhutang waktu satu jam dari istriku, Karen untuk menemui klienku yang keluarganya berantakan karena aku. Orang pertama yang kutemui malam itu adalah Ruth, istrinya Daniel yang mengambil kredit untuk membeli lisensiku tetapi kini Ruth menceraikannya karena Daniel bangkrut dan dipenjara. Semua itu ulahku. Setelah beberapa kali mengetok pintu kamar Ruth dan anak-anaknya, Ruth membukan pintu: “Aku Gavin Johnson. Aku telah berhutang 20 menit kepada suamimu, Daniel. Aku mau membayarnya.” Aku menjelaskan semua tentang Daniel dan jalan perkaranya hingga mengapa ia dipenjara. Dengan hormat dan penuh cinta kasih, aku memintanya untuk menjemput Daniel 30 menit lagi setelah aku meninggalkannya. Aku juga memberikan alamat di mana mereka harus bertemu dengan Daniel. Tanpa membuang waktu, aku menuju tempat di mana Daniel dipenjara. Aku menebusnya dan ia diperbolehkan meninggalkan tempat itu saat itu juga. Aku memberikan alamat di mana ia harus bertemu dengan Ruth dan anak-anaknya. Lima menit aku menatap senyum kebahagiaan di wajah Daniel Kamba, Jr. dan keluarganya. Kini tersisa 15 menit. Aku menuju ke rumah, bertemu dengan Karen, istriku dan anak-anakku, Carla dan Carl. *** Aku merenungkan arti kesetiaan setelah makan malam itu. Kelihatannya sangat bodoh. Aku sampai tidak bisa membanyangkan kesetiaan istriku selama lebih dari 25 tahun pernikahan kami. Kesetiaan Walter terhadap istrinya selama 20 tahun. Semuanya kan tindakan yang bodoh. Cerita yang tidak bisa diceritakan. Bagaimana mentorku hidup dari pekerjaan tanpa upah. Ia setia melakukannya sebelum menjadi mentorku, bahkan sebelum aku mengambil sekolah hukum. Tetapi apakah dia tidak bisa menghidupi keluarganya? Tidak. Ia bisa. Apakah ia kehilangan reputasi, kepercayaan dan rasa hormat? Tidak. Ia justru mendapat lebih dari yang seharusnya. Aku menyadari, kesetiaan dan kebodohan sangat tipis perbedaannya. Kesetiaan karena ada cinta yang memberikan kekuatan untuk mencintai sedangkan, kebodohan itu tanpa cinta. Mencitai bukan karena cintaku terbalas. Memberi bukan karena aku diberi. Menghormati bukan karena aku dihormati. Membantu bukan karena aku dibantu. Itu semua adalah nilai. Aku harus melakukannya bukan karena tetapi. Pemuliaan terhadap ini adalah kemutlakan bagi manusia yang bernilai—tujuan yang melekat dengan proses. “Cintailah karena memang engkau pengasih. Memberilah karena engkau pemberi. Menolonglah karena engkau penolong. Karena ketika engkau memberi, sesungguhnya apa yang telah engkau beri akan menjadi milikmu selamanya dan tidak ada seorangpun yang dapat mencurinya darimu. Ketika engkau mengasihi, kasih itu akan semakin berlimpah sehingga engkau tidak bisa tidak mengasihi. Ketika engkau menolong orang lain, engkau sendiri tertolog. Cinta dan kebahagiaan bukan berasal dari (si)apa yang ada di luar dirimu tetapi adalah dirimu sendiri.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun