Saya sepaham dengan Arif Perdana (Monash Univ. Indonesia): di SD, kenalkan computational thinking lewat permainan; SMP mulai pemrograman blok & konsep AI ringan; SMA baru coding teks & aplikasi AI sederhana semua dalam porsi realistis dan menyenangkan (game-based learning), bukan beban kurikulum utama. Menurut saya, ini resep “waras”: selaras tahap kognitif, tidak memaksa, dan tetap fun.
Namun, mari jujur: kesiapan ekosistem masih timpang guru khusus AI/koding belum banyak, infrastruktur belum merata. Karena itu, saya melihat kebijakan opsional & bertahap sebagai jalan tengah yang pas, sembari pemerintah dan daerah investasi pada pelatihan guru, perangkat TIK, dan modul adaptif agar jurang kota-desa tidak makin lebar.
Penutup
Bagi saya, AI dalam kurikulum itu perlu asal urutannya benar. Literasi dulu, lalu AI sebagai percepat. Regulasi sudah membuka jalan; tugas kita memastikan jalannya aman, adil, dan bermakna: guru dilatih, siswa dikuatkan nalar kritisnya, sekolah didukung infrastrukturnya. Dengan begitu, anak kita bukan cuma “jago prompt”, tapi paham mengapa dan bertanggung jawab atas apa yang mereka buat dengan AI. Itu baru kurikulum yang maju—tanpa meninggalkan yang paling dasar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI