Mohon tunggu...
Miftah Azizy
Miftah Azizy Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Teknik informatika

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Ai Masuk Kurikulum?,Bukan sekedar 'Main Prompt'?. Bagaimana Hukumnya?

12 Oktober 2025   21:51 Diperbarui: 12 Oktober 2025   22:10 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AI dalam Kurikulum: Rencana, Regulasi, dan Pandangan Saya

AI dalam Kurikulum: Rencana dan Regulasi Resmi (pandangan saya)
Saya senang pemerintah mulai serius mengarusutamakan kecakapan digital. Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 memang menambah mata pelajaran pilihan “Koding dan Kecerdasan Artifisial” yang diterapkan bertahap mulai tahun ajaran 2025/2026. Buat saya, ini sinyal kuat bahwa negara mengakui pentingnya literasi teknologi sejak dini meski statusnya masih “opsional” agar tidak memaksa sekolah yang belum siap.

Yang juga saya apresiasi: pemerintah menegaskan implementasi dilakukan bertahap dan hanya di sekolah yang siap—jadi ini bukan lomba buru-buru pasang label “AI ready”, melainkan soal kesiapan infrastruktur, guru, dan siswa. Menurut saya, sikap bertahap ini tepat: kualitas > kecepatan.

Literasi dulu!”

Terus terang, saya setuju dengan seruan “literasi dulu, baru AI”. Data PISA 2022 masih bikin kita berkaca: hanya sekitar 25% siswa Indonesia mencapai level dasar membaca (rata-rata OECD 74%), dan untuk matematika kinerja kita juga masih tertinggal. Artinya, fondasi literasi & numerasi belum merata. Kalau pondasinya rapuh, menaruh “lantai AI” di atasnya berisiko.

Kritik Ganjar Pranowo bahwa memasukkan AI ke kurikulum bisa terlihat “lompatan mencengangkan di tengah krisis pembelajaran”—buat saya relevan sebagai alarm: jangan sampai AI jadi ilusi kemajuan, sementara masalah fundamental (baca-tulis-hitung, pemerataan) belum dibenahi.

Dari sisi pegiat pendidikan, Ubaid Matraji (JPPI) mengingatkan: percuma belajar AI dan koding kalau literasi lemah; anak mudah “menelan mentah-mentah” hasil AI tanpa sikap kritis. Saya pribadi mengamininya tanpa kemampuan memahami teks, logika, dan memecahkan masalah, AI hanya jadi tombol cepat, bukan alat berpikir.

Bukan sekadar “main prompt”: apa yang saya maksud literasi AI 

Fenomena “main prompt” itu nyata. Tapi di mata saya, literasi AI bukan sekadar bisa pakai alat; melainkan paham konsep, bias, batasan teknis, dan etika. Firman Kurniawan (UI) tepat saat bilang, pembelajaran AI itu bukan soal mengejar aplikasi tertentu, tetapi cara berpikir berbasis informasi—produksi pengetahuan tetap karya manusia, AI hanyalah pendukung. Ini penting agar siswa tidak memindahkan “akal sehat” ke mesin.

Kenapa ini krusial? Karena AI punya kelemahan: potensi bias, halusinasi jawaban, dan dinamika model yang cepat berubah. Bahkan studi Microsoft mengingatkan risiko ketergantungan yang menggerus nalar kritis. Jadi menurut saya, sebelum “gas” ke proyek AI, sekolah perlu “rem” sejenak untuk memastikan nalar kritis anak aktif lebih dulu.

Saran dari saya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun