Fenomena kerajaan fiktif adalah bukti bahwa sebagian masyarakat Indonesia masih bodoh atau justru mudah dibodohi. Aneh jika memasuki era Revolusi Industri 4.0 masih saja percaya pada seseorang mengaku sebagai raja. Sebodoh itukah?Â
Munculnya kerajaan fiktif seperti Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah dan Kerajaan Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat adalah bukti mutakhir bahwa masyarakat masih bodoh dan mudah dibodohi.
Padahal apa ya enggak mikir, kok tanpa asal-usul jelas seseorang menobatkan diri sebagai raja. Sangat tidak mungkin mereka para pengikut raja fiktif itu tak belajar sejarah di sekolah. Gawai pintar pasti setiap hari berada di genggaman mereka. Tapi mengapa kondisi berbalik dengan pikiran mereka?
Ingin mendapat kekayaan secara instan di tengah hidup yang semakin sulit jadi pemicu mereka mudah ditipu. Berdasarkan pendapat Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman fenomena kerajaan fiktif menyasar kalangan ekonomi menengah ke bawah. Pengikut diimingi janji mendapat uang berlimpah jika mengabdi pada raja. (CNNIndonesia). Meski tak bisa berpenghasilan pas-pasan, fakta menyatakan para pengikut mesti menyetor uang jutaan hingga puluhan juta sekadar jadi pengikut.
Nalar sederhana harusnya bisa mencerna. Jangan mudah terlalu percaya, apalagi berkaitan kerajaan baru padahal Indonesia sudah merdeka puluhan tahun lalu.
Terkait seseorang yang mendaku sebagai raja, bila ditinjau dari sisi kesehatan orang tersebut mengalami gangguan psikologi jenis delusi grandiose atau waham kebesaran.Â
Dikutip dari laman Alodokter pengidap waham ini merasa mempunyai kekuasaan besar dan kecerdasan tinggi. Pengidap merasa memiliki kekuatan luar biasa karena memiliki talenta luar biasa dan merasa menemukan sesuatu yang penting.
Pengidap atau penderita merasa menjadi orang penting, merasa punya hubungan dekat dengan orang penting atau merasa dirinya sendiri orang penting itu.
Selain waham kebesaran, bisa jadi motif ekonomi alias penipuan dilakukan raja Keraton fiktif Agung Sejagat, Toto Santoso Hadiningrat. Ia terlilit utang senilai Rp1,5 Miliar.
Nasib korban seperti peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula. Korban kerajaan fiktif tidak gratis menjadi pengikut Toto. Mereka membayar sejumlah uang untuk menempati posisi penting di "kerajaan". Uang itu akan dikembalikan dengan jumlah besar. Tapi, lidah tidak bertulang. Semua itu hanya janji surga. Kenyataannya mereka sedang menuju neraka. (Miv)