Walau dengan menempuh jarak yang lumayan jauh, dari kota yang katanya tidak pernah tidur New York City (NYC), dua orang teman asal Minahasa (yang satunya tinggal di Jerman) tetap merelakan diri mereka berpanas-panas untuk datang for bakudapa dengan beberapa Kawanua yang tinggal di NJ. Tepatnya pertemuan yang diracik mendadak itu diadakan di Roosevelt Park Edison. Pertemuan kecil ini dibuat sebenarnya karena kami tergabung dalam satu “komunitas” bernama NETTERS SULUTLINK (Media Online ), punya kerinduan for bakudapa, bercerita, tukar-pikiran dan saling kenal lebih dekat lagi. Singkat cerita dua kawan ini (Netter Tom dan Rumanen) naik mobil sekitar 50-65 miles plus, untuk cari lokasi pertemuan tersebut. Di lokasi park telah menunggu netter Kitya dan Kawatak. Datang belakangan Rieke, Ellen dan akhirnya Tude. Bagi yang ingin lebih mengenal tu kota Edison, silahkan intip disini : http://www.edisonnj.org/
Roosevelt Park berlokasi di kota Edison dan merupakan salah satu Park yang paling banyak di kunjungi, mengingat besarnya dan banyaknya fasilitas olah-raga serta tempat bermain. Kalau akhir pekan, tempat ini sangat penuh, setidaknya harus pakai istilah “first come first serve”. Dari puluhan meja dan bangku yang tersedia di Park tersebutmesti adu cepat untuk “first come first sit”, untungnya kita datang hari Rabu. Tidak terlalu banyak pengunjung, jadi sangat cocok untuk diskusi, bercerita, tukar pengalaman dibawah rindangnya pepohonan, diterpa semilir angin sejuk.
[caption id="attachment_99427" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi"]
Di Barnes & Noble-corner’ café tersebut sambil minum kopi panas kami lanjutkan diskusi dengan bobot yang agak lebih berat mengenai banyak hal dalam lingkup seputar Minahasa dan Keminahasaan serta berbagai permasalahannya. Mungkin belum banyak yang tau bahwa netter Rumanen adalah salah satu penulis yang berupaya menulis tentang Minahasa. Ada tulisannya bertajuk “Minahasalogi” telah dipublikasikan dimana-mana.
[caption id="attachment_99428" align="alignright" width="150" caption="Logo Minahasa"]
Rumanen juga bilang pa torang bahwa ketika ia ketemu Gus Dur disuatu kesempatan (dan bercakap-cakap singkat dengan beliau), dia dengar tentang komentar Gus Dur yang mengatakan bahwa orang Minahasa itu terkenal, bahwa orang Minahasa itu hebat dan bahwa itu tidak bias dipungkiri. Orang Minahasa yang pintar-pintar dan mudah bergaul, itu seharusnya dicontoh. Tapi Gus Dur juga bilang bahwa orang Minahasa itu emosian, nggak bisa salah dikit. Darah tingginya minta ampun. (Benar tidaknya, saya nggak ngerti tuh). Itu yang mesti diubah. Jangan mudah tersinggung. Jangan mudah marah terhadap orang lain.
Kopi panas telah ludes. Tinggal ampasnya doang, tapi ‘diskusi terbatas’ ini masih berlanjut dengan asyiknya, netter Ellen muncul ketika kami lagi spanen dengar si Rumanen bertutur. “Asyik kwa ja dengar orang yang bicara kong dia tau skali apa yang dia bicarakan” (enak mendengarkan cerita seseorang yang benar-benar memahami apa yang ia ceritakan). Seorang kawan berujar.
Sedikitnya ada beberapa hal, dari apa yang saya simak, yang setidaknya boleh share di Blog ini antara lain; Bahwa Minahasa pada dasarnya bisa disebut sebagai suatu “bangsa” yang terdiri dari berbagai “suku bangsa”. Ada 8 bahasa yang dikenal di Minahasa dan dipakai secara luas yaitu Tonsea, Tolour, Tombasian, Tontemboan, Tonsawang, dan Bantik. Ada yang mengkasifikasikannya sebagai dialek bahasa Tombulu, dialek bahasa Tondano, dialek bahasa Tonsea, dialek bahasa Tontemboan, dialek bahasa Tonsawang, dialek bahasa Ratahan, dialek bahasa Bantik. Yang paling banyak digunakan adalah bahasa Tontemboan, kurang lebih dipakai di 11 kecamatan. Ini salah satu contoh “ Tabea waya, rona karu yaku gumabung ambiay ? mande karu yaku make bahasa tountemboan....” Tom : “Apakah perlu/penting untuk mempelajari keminahasaan secara anthropologis ? “ Rumanen : “ Apakah dalam kondisi sekarang ini perlu bagi kita untuk melihat dari sisi tersebut ? “
Sebab keminahasaan harusnya fleksibel. Banyak orang Cina yang ganti nama akhirnya mengaku bahwa dia adalah orang Minahasa. Cinta dengan Minahasa. Orang-orang dan suku lain yang sudah tinggal lama di Minahasa akan lebih dan suka untuk diakui sebagai orang Minahasa. Ketika ada pertanyaan ini “Orang apa ngana…(Asal mana kamu)?” mereka dengan pastinya akan menjawab “Orang Minahasa”, walaupun sebenarnya mereka datang dari suku lain. Ini sebenarnya yang mesti lebih jeli dilihat, sebab banyak yang datang menawarkan dan atau mengangkat issue “dorang” (mereka) dan “torang” (kita).
Di Minahasa siapa itu “dorang” terus siapa itu “torang”? Itu adalah ‘proses alamiah’. Selama kita tinggal di suatu tempat, punya KTP yang sah (legal) maka kita adalah bagian dari tempat dimana kita tinggal. Tidak ada lagi “dorang”. Yang ada Cuma “torang”. Dengan demikian kita telah menghormati hak paling asasi dari setiap manusia. Dan kita telah belajar untuk tidak menjadi rasis.
[caption id="attachment_99429" align="alignleft" width="300" caption="Tanah Minahasa"]
Kita memilih untuk urusan perut ini di Grand Buffet – all you can eat -. Di Grand Buffet kita melanjutkan percakapan yang sepertinya tidak akan pernah selesai, bercengkerama, tertawa lepas, canda-gurau dan masih banyak kenangan tak terlupakan.
Terima kasih teman-teman sudah mengundang saya. Saya akhirnya banyak belajar tentang memahami jati diri kita sebagai bangsa dan suku bangsa. Bagaimana untuk dapat melihat secara utuh. Melihat dalam konteks yang lebih luas, lebih utuh. Konteks kebangsaan. Bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H