Thrifting sebagai alternatif belanja pakaian mendapatkan respon cukup baik, terutama dari kalangan muda. Berbagai konten di media sosial giat mempromosikan thrifting. Platform thrifting pun meluas hingga platform daring. Banyak orang mulai menjual pakaian bekasnya sendiri yang disebut sebagai preloved. Upaya ini menjadi eksekusi yang tepat untuk mengurangi limbah tekstil dengan cara reuse (menggunakan ulang). Cenderung, pakaian bekas yang dijual melalui proses kurasi yang lebih teliti. Dengan demikian, pembeli lebih mempercayai kebersihan dan autentisitas produk.Â
"Aku personally lebih suka preloved, karena istilahnya aku kan tangan keduanya, jadi lebih tahu sumbernya dipakai sama siapa", jelas Angie, model dan produsen aksesoris up-cycle plastik.Â
Namun demikian, thrifting masih memiliki kontra. Nyatanya, sebagian besar pakaian bekas yang dijual di pasar merupakan pakaian bekas impor. Peraturan Menteri Perdagangan No.40 tahun 2022 melarang dilakukannya impor barang bekas. Namun demikian, justru minat masyarakat Indonesia masih cukup tinggi dalam I pakaian bekas impor. Sementara, belum ada sanksi tegas bagi keseluruhan pelaku bisnis yang menjual pakaian bekas impor. Oleh karena itu, penjualan pakaian bekas impor masih berlangsung hingga saat ini. Sayangnya, hal ini menjadikan thrifting sebagai celah penumpukan limbah pakaian.
"It (thrifting) could be a solution, tapi harus bijak aja, sih. Bagaimana kamu merawat pakaian itu sendiri, karena kalo semakin banyak baju yang dipunyai juga pada akhirnya akan jadi waste" jelas Angie.
Angie mengusulkan bahwa permasalahan thrifting kembali ke bagaimana tiap-tiap orang merawat baju masing-masing. Oleh karena itu, piramida 'buyerarchy of needs' oleh Sarah Lazarovic kembali menjadi konsep yang penting untuk diingat. Meskipun thrifting menjadi sebuah alternatif yang ramah lingkungan, pembeli harus tetap menerapkan smart buying sesuai prinsip utama sustainable fashion. Poin ini mengacu pada membeli sesuai kebutuhan dan bersikap mindful terhadap sumber pakaian yang dibeli dan perawatannya. Sejatinya, pakaian dapat dipakai bertahun-tahun jika dirawat dan dilakukan repurpose (dibetulkan agar dapat digunakan kembali). Sementara itu, thrifting sendiri kembali ke masing-masing pribadi yang harus pandai memilih pakaian yang akan bertahan.
"Kalau dari bahan kan kalau thrifting juga dilihat-lihat dulu yang bagus dan yang nggak. Kalau bahannya ada bercak, koyak, lobang, gak akan aku beli juga, sih. Sebelum aku pakai juga selalu aku cuci dulu, jadi aman-aman aja, sih", saran Vivian membagikan pengalamannya merawat pakaian thrifting-nya.
"Kalau kita pintar nyarinya bakal dapat baju yang berkualitas. Balik lagi kita harus pintar nyarinya, kadang ada yang bernoda, dll.", ucap Alika, model dan produsen aksesoris up-cycle plastik.
Dengan demikian, thrifting tetap disimpulkan sebagai alternatif pembelian baju yang lebih ramah lingkungan. Hal ini karena thrifting memanfaatkan kembali pakaian bekas yang tidak terpakai untuk dipakai kembali di tangan yang baru. Upaya ini mencegah menumpuknya limbah tekstil yang masih bisa digunakan kembali. Adapun, thrift barang impor juga cukup marak terjadi. Oleh karena itu, upaya mengurangi limbah kembali pada kesadaran masing-masing, untuk memanfaatkan kembali barang bekas lokal sehingga tidak menambah limbah yang ada. Sejumlah contoh nyata thrift yang sesuai dengan prinsip sustainable fashion adalah brand preloved koleksi pribadi. Brand ini dapat ditemui di berbagai platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan berbagai platform belanja daring.