Sebelum saya mulai: luangkan 60 detik, tulis dua hal singkat di kertas/HP: (1) satu kata yang muncul saat Anda mendengar "Bali"; (2) satu kekhawatiran struktural (tanah, pariwisata, air) yang ingin Anda lihat berubah. Tulis dulu, lalu lanjutkan membaca. (Cognitive trainer: selalu pikir dulu sebelum menerima narasi yang siap-pakai.)
Analisis singkat sejarah Pulau Bali
Asal-usul dan Hinduisasi:
Bali memiliki garis waktu yang panjang, dari periode paleolitik dan kedatangan gelombang Austronesia, sampai pengaruh Hindu-Buddha dari Jawa. Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa (abad ke-15), banyak bangsawan dan cendekiawan Jawa pindah ke Bali, sehingga pulau ini mempertahankan bentuk Hindu-Bali yang khas dan tata sosial adat yang kuat. (Wikipedia)-
Struktur kerajaan dan institusi masyarakat:
Sejak era kerajaan-kerajaan kecil, struktur adat; termasuk sistem gotong-royong dan lembaga komunal; membentuk jaringan sosial yang mengatur tanah, pengairan, dan ritual bersama. Salah satu institusi agraris paling penting adalah subak, sistem irigasi kolektif yang terintegrasi dengan kuil air dan ritual; diakui UNESCO sebagai warisan budaya yang menunjukkan hubungan erat antara masyarakat, alam, dan spiritualitas. (UNESCO World Heritage Centre) Penjajahan dan trauma kolektif: Puputan dan kolonialisme Belanda:
Masuknya kekuatan kolonial Belanda mengakhiri kedaulatan banyak kerajaan Bali. Pada awal abad ke-20 terjadi intervensi militer yang brutal, termasuk peristiwa Puputan (perlawanan sampai mati) di Denpasar dan Klungkung; trauma kolektif yang menggarisbawahi kekerasan penjajahan dan kerusakan struktural pada masyarakat adat. (Wikipedia)Seni, penemuan Barat, dan transisi ekonomi:
Mulai akhir 1800-an dan awal 1900-an, fotografer, seniman, dan antropolog Barat menemukan "Bali"; mendiseminasikan citra eksotis yang kemudian membuka jalan bagi pariwisata. Pada abad ke-20 pariwisata berkembang pesat; di satu sisi memberi pendapatan, di sisi lain memperlemah kendali lokal atas tanah, budaya yang dikomodifikasi, dan tekanan ekologis. Praktik religius seperti canang sari, kecil namun konsisten, menjadi penanda keseharian spiritual yang bertahan di tengah perubahan. (Wikipedia)Krisis kontemporer: overtourism, konversi lahan, dan kebijakan baru:
Dalam dekade terakhir, ledakan pariwisata menciptakan tekanan infrastruktur, konversi sawah jadi vila/hotel, masalah limbah, dan risiko lingkungan. Pemerintah bergerak dengan langkah-langkah seperti moratorium pembangunan tertentu untuk menahan overdevelopment; respons yang menunjukkan titik belah antara ekonomi pasar global dan kebutuhan ekologis-komunal lokal. (The Guardian)
Esai (Bahasa Indonesia)
Bali. Kata itu bermakna ganda: sebuah pulau, dan dalam bahasa Sanskerta sebuah tindakan: bali, persembahan. Di setiap sudut desa, ada keranjang kecil berisi bunga, kue, asap dupa; sebuah pengakuan sederhana bahwa hidup ini saling memberi dan saling menanggung. Dari persembahan itu lahir sebuah tatanan: subak yang mengatur air, upacara yang mengikat komunitas, adat yang menegakkan saling-jaga.
Tapi sejarah adalah medan pertempuran material. Pulau yang dulunya disusun oleh kerja kolektif petani, tukang perahu, pemahat, dan pendeta, tiba-tiba dijadikan objek pandang untuk wisatawan jauh. Kepemilikan tanah berubah, sawah disulap jadi vila, ritus jadi atraksi. Struktur ekonomi bergeser dari produksi lokal menuju akumulasi kapital yang seringkali mengalir keluar pulau. Ketika kapital menukar makna menjadi komoditas, keseimbangan ekologis dan sosialnya terguncang.
Di sinilah cerita Vighasa masuk, sebuah gagasan tentang sisa-sisa suci yang tersisa setelah persembahan. Vighasa bukan sekadar puing: ia adalah remanen yang berharga, fragmen pengalaman kolektif yang masih bisa kita makan bersama. Vighasa adalah nasi yang tersisa dari pesta ritual; ia adalah memori tentang cara orang-orang menata air, membagi panen, dan merayakan hidup bersama; sebuah warisan praktis yang menunggu untuk dihidupkan kembali.
Kabar baiknya: vighasa bukan tak berdaya. Ia punya potensi untuk menjadi basis rekonstruksi sosial-ekologis. Dengan menopang kembali institusi-institusi lokal; subak, banjar, adat ekonomi; Bali bisa menegakkan kembali ekonomi yang mempertimbangkan nilai guna sosial dan ekologis, bukan hanya nilai jual. Reformasi lahan yang memberi prioritas pada hak-hak masyarakat adat, dan kebijakan pariwisata yang menempatkan ambang ekologis sebagai pra-syarat pembangunan, bukan sebagai pilihan retrospektif---itu langkah konkret menuju masa depan yang lebih adil.