Mohon tunggu...
Michael The
Michael The Mohon Tunggu... Lainnya - B.E(Civ)(Hons)

Manusia biasa yang suka menuangkan pikirannya terhadap hal-hal yang terjadi disekitarnya. Pro Kontra biasa asal disertai pemikiran dan perasaan yang beralasan. Selamat menikmati.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pikiran dan Perasaan #13 - "Dilema Kesehatan atau Kesakitan?"

16 Januari 2021   00:50 Diperbarui: 16 Januari 2021   02:13 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Salam Sejahtera, Assalamualaikum wr wb, Shalom Alaichem
Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan 

Kesehatan merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam kehidupan manusia. Bagi saya pribadi, kesehatan adalah hal nomor satu yang harus dijaga (walaupun memang terkadang di banyak kesempatan kesehatan pun terlupakan).

Ketika ada keluarga atau kerabat yang berulang tahun, selalu satu kalimat ini yang saya sampaikan, "Semoga sehat, bahagia dan sukses selalu". Rangkaian doa tersebut tak hanya saya sampaikan begitu saja namun ada makna dibaliknya. 

Mengapa sehat terdapat di bagian paling awal daripada bahagia dan sukses? Tidakkah kebahagian itu penting untuk setiap orang terutama di hari ulang tahunnya?

Menurut saya, orang yang bahagia belum tentu sehat begitu pula orang sukses juga belum tentu sehat. Orang sukses pun belum tentu bahagia. 

Namun, orang yang sehat seharusnya merasa bahagia karena kesehatan tersebut dapat dijadikan modal utama untuk mencapai kebahagian yang lainnya (batin dan lahiriah) dan menjadi jalan untuk meraih kesuksesan. Orang yang sudah mengalami sakit akan sangat sulit untuk melakukan segala aktivitas untuk mendukung kebahagian dan kesuksesannya (halangan akan lebih berat daripada orang sehat). 

Maka dari itu, kesehatan perlu dijaga sedini dan seketat mungkin untuk masa depan kita sendiri karena banyak pula penyakit yang tidak dirasakan sekarang namun menumpuk di badan kita dan akhirnya akan menjadi malapetaka untuk kita dikemudian hari. Sehat bukan berarti hanya dalam artian fisik namun juga PIKIRAN.

PIKIRAN yang jernih dan sehat dapat membawa ketenangan jiwa dan menjadikan diri kita lebih bersemangat dalam hidup. Ada orang yang fisiknya sehat, namun pikirannya bermasalah yang dikemudian hari mengakibatkan daya tahan tubuhnya menurun dan membawa segala macam penyakit ke dalam tubuhnya. 

Ada sedikit cerita pribadi yang ingin saya ceritakan kepada para pembaca kompasiana sekalian. Cerita yang saya anggap bisa dijadikan pelajaran, pengalaman dan evaluasi bagi diri saya, pembaca dan pihak terkait kedepannya. Sebelumnya saya ingin menyampiakan bahwa cerita dan tulisan di sini hanya berasal dari pengalaman pribadi saya dan tanggapan saya.

Tidak bermaksud untuk menyerang siapapun atau instansi mana pun namun lebih ke memberi pandangan yang dapat menjadi evaluasi untuk ke depannya. 

Di malam tahun baru kemarin, setelah melewati malam pergantian tahun bersama beberapa teman, tiba-tiba perut saya merasa tidak nyaman. Beberapa kali saya keluar masuk kamar mandi namun tidak berpengaruh apa-apa. Keesokan harinya rasa tidak nyaman tersebut kembali muncul dan mengarah ke rasa sakit di perut bagian kanan (rasanya menusuk dan ketarik).

Saat berjalan dan selesai makan rasa sakit itu pun semakin terasa. Rasa sakit tersebut juga muncul ketika saya berbaring menghadap ke kiri dan ke kanan, seperti ada sesuatu yang mengganjal. Untungnya saya tidak deman dan tidak merasakan mual serta muntah. 

Sempat terlintas di PIKIRAN atas dua kemungkinan yang saya alami yaitu antara cidera otot atau usus buntu. Saya pun cukup terheran-heran karena sebelum itu sakit itu muncul, saya tidak melakukan aktivitas yang berat dan juga tidak memakan makanan yang aneh.

Keesokan harinya di hari sabtu pagi, saya pun memutuskan untuk pergi ke dokter umum (dokter A)  yang cukup ramai. Ibu saya membantu saya untuk mendaftarkan diri di pagi hari karena katanya dokter tersebut hanya menerima 17 pasien per praktek selama pandemi. Dengan protokol kesehatan yang cukup ketat pun saya menunggu giliran masuk. 

Saat giliran, saya masuk ke ruang praktek dan dipersilahkan duduk dengan jarak kurang lebih 1.5 meter dari sang dokter yang sudah memakai pelindung diri (masker, face shield, sarung tangan, sarung kepala) dan dibatasi oleh plastik trasparan. Dokter A menanyakan keluhan saya dan pada akhirnya menyuruh saya untuk medekat ke dirinya untuk diperiksa bagian perut, pinggul dan pinggang.

Tanpa memberikan diagnosa detail, dokter pun memberikan resep yang terdiri dari  antibiotik, obat sakit perut dan obat untuk pencernaan. Ia pun menyuruh saya meminum obatnya sampai habis dan jika ada keluhan baru disuruh untuk datang kembali. 

Ibu saya yang binggung pun menanyakan apa yang terjadi pada saya. Sang dokter hanya mengatakan saya mungkin mengalami gangguan pencernaan biasa dan bukan usus buntu. Ia menyuruh saya untuk menghabiskan obatnya dan tidak menyuruh saya untuk melakukan USG dikarenakan resiko yang lebih berat akan terpapar Covid-19 jika harus ke rumah sakit umum. 

Hari berlalu, tubuh saya pun mulai pulih, RASA sakit tersebut perlahan-lahan mulai meredam. Di minggu malam saya sudah mulai merasa lebih baik walau RASA sakit itu pun masih muncul beberapa kali ketika saya melakukan gerakan yang cukup berat (lari, bangun dari tidur, lompat, guncangan).

Di malam itu, salah satu sahabat saya yang mengetahui kondisi saya menelpon dan menanyakan kabar saya. Ia menyarankan saya untuk segera USG karena takut akan dampak besar yang akan ditimbulkan jika memang saya terkena usus buntu. Karena dari apa yang saya RASAkan memang mengarah ke gejala-gejala penyakit tersebut. 

Saya pribadi memang sudah berencana untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, namun tadinya akan menunggu kondisi saya stabil. Namun setelah diPIKIR-PIKIR kembali, apa yang dikatakan sahabat saya tersebut ada benarnya karena rasa sakit itu pun masih ada sedikit sampai saat itu.

Saya pun memutuskan untuk mempercepat pemerikasaan lebih lanjut tersebut. Awalnya saya ingin langsung melakukan USG untuk bagian perut saya di salah satu rumah sakit swasta, namun mereka mengharuskan surat rujukan dari dokter untu melakukan USG. 

Pada hari selasa, saya pun pergi ke seorang dokter spesialis penyakit dalam (sebut saja dokter B) yang melakukan praktek di salah satu rumah sakit swasta yang cukup ramai di daerah saya. Saya mendapatkan nomor antrian ke-27 dan disuruh untuk datang pada pukul 10.30 (dokter mulai prakter pukul 09.00).

Saya pun datang tepat waktu dan mendaftarkan diri ulang sembari menunggu giliran. Kira-kira pukul 12.00 lewat, nama saya pun dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan praktek (saya berobat dengan adik saya yang juga punya keluhan dibagian perut sejak beberapa minggu sebelumya). 

Giliran pertama adalah saya, beliau menanyakan apa saja keluhan saya dan mencatatnya. Dokter B kemudian menyuruh saya untuk berbaring dan melukan pengecekan dibagian perut sebelah kanan sesuai dengan yang saya tunjukkan.

Dengan satu sentuhan dan pertanyaan "apakah sakit disini?" dan jawaban "iya", dokter B pun langsung menyatakan bahwa sakit itu memang khas berkaitan dengan penyakit usus buntu. Dokter B langsung membuka nota untuk saya melakukan cek urin, darah serta USG tanpa memberikan penjelasan yang mendetail dan berusaha menenangkan saya.

Ia hanya mengatakan bahwa rasa sakit saya sudah sedikit mereda karena efek antibiotik sebelumnya. Sedangkan adik saya dengan pemaparannya akan keluhannnya yang dikatakan seperti maag, dokter pun langsung membukakan resep obat maag sebanyak dua jenis dan menyuruhnya untuk melakukan cek feses (tinja). 

Di saat itu juga, saya langsung melakukan pengambilan urin, darah dan menunggu giliran untuk USG. Jadwal USG adalah jam 13.00, namun dokter (dokter C) yang bertugas baru datang sekitar pukul 14.00 lewat. Pemerikasaan USG pun berjalan normal, dokter yang memerikasa rupanya adalah dokter substitusi yang menggantikan dokter utama yang berhalangan hadir.

Dokter C menjelaskan bahwa ia tidak menemukan sesuatu radang atau yang janggal disekitar area yang saya keluhkan. Ia berkesimpulan bahwa jika memang saya mengalami usus buntu, radang tersebut bisa saja sudah mereda karena pengaruh obat yang diberikan sebelumnya. Dokter C menganjurkan saya untuk melakukan pemeriksaan CT Scan bila memang rasa sakit tersebut muncul kembali. 

Hasil USG keluar tak berapa lama kemudian dan dari keterangan menunjukkan bahwa semua terlihat normal. Hasil cek urin dan darah pun keluar dan dari semua parameter yang ada, hasil cek saya menunjukkan semua masuk dalam angka rujukan normal dan tidak ada gangguan (rapot merah).

Saya mengatakan ke ibu saya "Palingan juga nanti dokter bilang ini semua normal dan saya tidak kenapa-kenapa, tidak perlu lah kita kembali lagi untuk konsultasi". Namun ibu saya yang masih penasaran pun memaksa saya untuk kembali 2 hari kemudian untuk konsultasi bersama dengan hasil pemerikasaan adik saya. 

Hari kamis saya kembali ke rumah sakit untuk berkonsultasi ke dokter B. Kali ini saya mendapatkan antrian nomor ke-5 dan disuruh untuk datang pukul 09.00. Dokter B datang tepat pukul 10.00 (telat 1 jam dari jadwal) dan kami masih menunggu sekitar 10 menit sebelum dipanggil masuk ke ruangan (antrian ke-5 namun dipanggil paling pertama).

Saat menunjukkan hasil pemerikasaan saya, betul saja apa yang saya katakan ke ibu saya beberapa hari yang lalu. Dokter B menyatakan bahwa hasil saya semua normal dan saya mungkin hanya menderita keram otot. Ia pun ak memberikan obat dan menutup "kasus" saya.

Lain halnya dengan adik saya, ada satu indikator merah yang mendeteksi virus di saluran pencernaannya. Dokter B menambahkan dua jenis obat lagi untuk dikonsumsi oleh adik saya (total 4 jenis obat). 

Dari dua kali pertemuan, saya merasa kurang teryakini dan tidak adanya kepastian serta penjelasan yang jelas akan apa yang saya derita sebelumnya karena menurut saya dokter B hanya murni mendiagnosa dari keluhan dan membuat kesimpulan dari hasil tanpa menjelaskan secara medis dan pengalaman akan hal-hal tersebut yang notabenenya awam pun sebenarnya juga dapat berkesimpulan demikian (walaupun kesimpulan awam tidak boleh dipercaya).

Dokter B kurang bisa memberikan penjelasan yang dapat menenangkan pasien dan terkesan terburu-buru untuk melayani pasien lainnya.  Pada akhirnya saya hanya menganggap sakit yang saya alami hanya cara Tuhan untuk menyuruh saya beristirhat sejenak. 

Pasien berhak untuk mendapatkan penjelasan lebih detail akan apa yang terjadi pada dirinya apalagi pasien tersebut sudah membayar penuh untuk jasa pelayanan dari dokter tersebut (biaya total pengobatan saya dan adik saya kurang lebih 1.5 juta). Ada pasien yang bisa saja terus kePIKIRan atas penyakitnya dan tidak memperoleh kepastian yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi mental dan fisik pasien itu sendiri. 

Selain memberikan pengobatan dalam bentuk obat, saya yakin pengobatan dalam bentuk mental juga tak kalah penting dalam mengobati pasien. Harus ada keseimbangan diantara keduanya karena kita tidak boleh lupa bahwa tubuh kita juga mempunyai kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri atas kendali PIKIRAN.

Obat adalah campuran bahan-bahan kimia yang seharusnya tidak perlu masuk ke dalam tubuh kita (kecuali dalam situasi mendesak). Obat bukanlah satu-satunya solusi untuk setiap masalah kesehatan. Ada beberapa dokter yang selalu mengandalkan antiobiotik dalam pengobatannya.

Setiap pasien dihantam antibiotik, sakit lagi hantam antibiotik kembali yang pada akhirnya hanya akan membuat pasien tersebut sembuh dalam jangka pendek dan terus-terusan sakit dalam jangka panjang. 

Konsultasi,edukasi, penjelasan dan dukungan moral kepada pasien disertai bantuan obat (jika diperlukan) saya RASA akan lebih ampuh untuk menyembuhkan pasien. Hal ini tentu berlaku untuk penyakit-penyakit ringan yang dapat diatasi secara sederhana. Pasien telah mengeluarkan sejumlah biaya dan menuntut haknya untuk mendapatkan solusi terbaik akan penyakitnya.

Benar, bahwa uang tersebut untuk membayar pengalaman dan pengetahun dang dokter yang mungkin didapatkan secara mahal dan penuh perjuangan. Namun, mereka juga tidak boleh melupakan apa tujuan utama mereka menjadi seorang dokter dan apa yang ada dalam sumpahnya. Sebuah pengabdian yang harus dilakukan secara tulus dan profesional. 

Saya termasuk orang yang paling tidak suka ke dokter jika saya meRASA sakit yang saya derita ringan dan dapat sembuh sendirinya. Karena menurut saya dokter ada untuk memberikan solusi yang tidak dapat kita temukan bukan yang malas kita temukan. Banyak juga orang Indonesia yang manja akan kesehatan, yang sakit sedikit ke dokter, sakit sedikit ke dokter.

Sikap terlalu panik dan malas mencari informasi sendiri menjadikan banyak orang yang menghabiskan uangnya di pelayanan kesehatan yang sebenarnya belum tentu ia butuhkan (urgensinya rendah). Inilah yang juga membuat rumah sakit-rumah sakit penuh dan antrian-antrian dokter panjang melingkar berjam-jam. 

Dari beberapa dokter yang saya pernah temui (untuk berobat) dalam negeri, masih banyak yang bagi saya bekerja lebih ke arah sekedar mencari uang daripada mengabdi dan melayani masyarakat secara tulus. Banyak dokter yang datang sangat telat yang artinya pasien yang sakit harus menunggu berjam-jam untuk gilirannya padahal mereka sebenarnya membutuhkan istirahat yang layak.

Ada juga dokter yang bersikap judes dan sekedar ingin memberikan obat tanpa memaparkan apa yang terjadi pada pasien. Ada juga dokter yang melakukan operasi dengan terburu-buru yang mengakibatkan hasil yang diperoleh tidak sempurna bahkan menimbukan kecacatan di tubuh pasien. Hal-hal ini yang membuat kepercayaan masyarakat akan para dokter menjadi tercemar namun merasa tidak ada pilihan karena tidak dapat sembarangan mengambil tindakan. 

Beberapa dokter juga terkadang menghindari pertanyaan-pertanyaan mendetail dan terkesan berputar-putar dalam memberikan jawaban. Entah karena pengetahuan yang tidak memadai atau mungkin karena hal yang ditanyakan bukan dalam ranah keilmuannya.

Maka dari itu penting bagi setiap dokter yang sudah berpraktek untuk tetap meng-update informasi-informasi seputar bidangnya dan melaukan diskusi-diskusi (bertukar PIKIRAN dan kasus) dengan rekan-rekan seilmuannya agar lebih banyak variasi kasus yang dapat ditangani karena setiap pasien mempunyai keunikan masalahanya masing-masing yang tidak dapat hanya diselesaikan dengan solusi yang itu-itu saja. 

Saya bukan orang yang anti-dokter dan tidak mengatakan bahwa semua dokter berbuat demikian. Saya yakin masih banyak dokter-dokter diluar sana yang mengabdi dengan tulus untuk masyarakat. Banyak juga kisah-kisah dokter inspiratif di beberapa daerah yang beberapa diantaranya bahkan bekerja tanpa dibayar atau bayaran seikhlasnya.

Saya harap tanggapan dan kritikan saya ini yang juga mungkin sama dengan pendapat orang lain dapat menjadi bahan evaluasi untuk dokter-dokter yang masih aktif sekarang maupun calon-calon dokter kedepannya. Karena tugasnya yang mulia, mereka pun harus membuktikan dengan hasil kerja keras untuk menyelamatkan banyak jiwa. 

Masyarakat pun juga harus sadar akan pentingnya menjaga kesehatan seperti kata pepatah "lebih baik mencegah daripada mengobati". Dikarenakan biaya pengobatan di Indonesia yang masih cukup tinggi ditambah lagi dengan masalah BPJS yang masih berantakan.

Ada baiknya kita juga lebih berperan aktif dalam menjada kesehatan diri sendiri dan orang-orang disekitar kita. Terutama di masa pandemi Covid-19 ini, kita lebih rentan terjangkit bukan hanya dengan virus-virus biasa, namun juga oleh virus Corona yang berbahaya yang jika terjangkit pada saat imun tubuh lemah dapat berakibat fatal bahkan kematian. 

Mari kita mulai hal-hal kecil untuk memulai hidup sehat dan berdoa pula agar usaha pemerintah dalam mendistribusikan dan mengedukasian vaksin dapat berjalan dengan lancar. Agar segala kontroversi yang terjadi di masyarakat juga dapat diluruskan dengan benar dan tanpa paksaan. Semoga dengan dimulainya program vaksin, aktivitas dan perekonomian negara kita dapat pulih kembali seperti sedia kala dan bahkan melampaui kinerja sebelumnya. Amin. 

Berikut ini saya lampirkan video wawancara Deddy Corbuzier dengan Ade Rai yang menurut daya relevan dengan apa yang saya bahas dan saya rasa penting bagi kita yang ingin menjaga kesehatan bukan hanya dari fisik saya tetapi juga melalui sugesti pikiran. Selamat mendengarkan . 


Salam hangat, 

MT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun