Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kampanye Budaya Menggunakan Pupuk Organik

20 September 2019   14:15 Diperbarui: 20 September 2019   14:16 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembuatan Pupuk Organik pada salah satu kelompok tani dampingan| Dokumentasi pribadi

Pada analogi ini saya menangkap adanya kepasrahan tanpa alasan bahwa tanah yang sudah lama digunakan untuk bertani memang sudah seharusnya tidak subur lagi karena umur tanah yang semakin tua seperti manusia yang semakin tua semakin kurang produktif. Lahan yang telah dipergunakan berulang kali harus ditinggalkan lalu membuka lahan baru.

Daya usaha untuk mencari solusi bagaimana memperbaiki keadaan tanah yang mulai rusak tidak ada. Alhasil, mereka mulai menggunakan konsep bertani jaman dulu yang menekankan konsep ladang berpindah-pindah tempat dengan cara yang paling cepat yaitu membakar semak. Kalau tidak ada lahan lain untuk berpindah maka diusahakan penggunaan pupuk kimia secara maksimal yang melebihi standar penggunaan. 

Mungkin juga karena tidak tahu standar takaran penggunaan pupuk kimia untuk jangkauan luas daerah tertentu. Jadi kadang petani memakai prinsip bahwa lebih banyak penggunaan pupuk kimia maka akan semakin baik tanahnya yang sebenarnya justru merusak tanah.

Jadi, konsep lama itu yang pada sebagian petani masih berakar kuat diperunyam lagi dengan konsep bertani dengan menggunakan pupuk kimia anorganik oleh pemerintah. Pemahaman petani Sumba yang masih kurang tentang cara menyuburkan tanah secara baik dan benar justru digiring masuk ke dalam konsep penggunaan pupuk kimia. 

Saya pikir masalah ini menjadi masalah bersama di Indonesia bahwasanya pemerintah telah membangun beberapa pabrik pupuk kimia yang mana hasil produksinya perlu penyerapan dari konsumen petani. 

Di Sumba, para petani yang terjebak dengan pemahaman yang minim tentang tanah menjadi sasaran empuk kampanye penggunaan pupuk kimia. Apalagi lewat pendampingan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dari pihak pemerintah yang menjadi pendorong budaya penggunaan pupuk kimia anorganik. 


Memang tidak dipungkiri bahwa ada banyak juga PPL yang mulai mengampanyekan penggunaan pupuk organik di komunitas dan kelompok dampingannya. 

Dari data resmi Pupuk Indonesia, pabrikan milik pemerintah saat ini memiliki total kapasitas produksi per tahun mencapai 13,1 juta ton dan ada program peningkatan jumlah produksi selanjutnya. Sebagai contoh kecil, pada program khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung,  Kedelai (Upsus Pajale) Pemerintah menghabiskan total anggaran Rp. 103 triliun. Di antaranya, sebanyak Rp. 31,2 triliun digunakan untuk subsidi pupuk kimia anorganik.

Setelah ingatan kita tentang kaitan antara tanah, jasad renik dan unsur hara dan mengapa penggunaan pupuk kimia anorganik menjadi prioritas pemerintah. Sekarang mari kita sama-sama mengenal bagaimana cara kerja pupuk kimia anorganik sehingga dikatakan tidak baik digunakan untuk lahan tanah. 

Biasanya dalam jangka pendek, pupuk kimia memang sangat mampu untuk bisa mempercepat masa tanam karena kandungan haranya bisa diserap langsung oleh tanah dan tanaman, namun di sisi lain bila penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang, justru akan menimbulkan dampak yang sangat negatif kepada tanah dan tanaman.

Menurut beberapa penelitian dari beberapa pakar tanaman, pada umumnya tanaman tidak bisa sepenuhnya menyerap 100% pupuk kimia anorganik. Selalu ada residu atau sisanya yang tidak terserap, apalagi banyak petani merasa dan berpendapat dengan pemberian pupuk melebihi takaran, malah bisa lebih produktif tanamannya. Hal ini adalah salah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun