Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Orangtua Tanpa Jejak Belajar

8 Juli 2020   07:36 Diperbarui: 8 Juli 2020   07:28 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.suara.com/

Oleh: Miarti Yoga

Seperti halnya teori rizqi, bahwa apa yang dimaksud rizqi itu adalah perihal yang dimakan dan digunakan. Pun dengan ilmu. Bahwa hakikat dari ilmu adalah apa yang kita pahami dan apa yang kta amalkan.

Kadang atau bahkan sering, di antara kita sebagai rang tua mengeluhkan kondisi anak, atas hasil belajar yang telah ditempuh. Meminjam spontanitas orang Sunda, "Diajar teh euweuh tapakna" (Belajar tapi tidak ada hasilnya. Tak berbekas).

Jika dikaitkan dengan modal yang telah kita keluarkan, bukan tak ada perasaan "rugi". Rugi telah mengeluarkan sekian biaya, namun tak ada efek atau tak ada hasil yang signifikan, yang kasat mata, yang jelas "juntrungannya". Tentu saja, hal ini menjadi bahan keresahan tersendiri. Atau ketika kita sedang dalam kondisi tak tenang, batin bisa bergumam; "Sakitnya tuh di siniiiiii."

Salah satu hakikat pendidikan adalah GRADUAL. Artinya, ada tahap-tahap atau proses perbaikan yang didapat. Sebalinya, pendidikan tak bisa dibangun dengan cara-cara instan. Misalnya, anak usia 4 atau 5 tahun dipaksa untuk bisa membaca dalam tempo belajar yang super singkat. Dua pekan atau satu bulan bisa baca, misalnya.

Contoh instan lainnya adalah ketika kita mengirimkan anak ke sebuah pesantren, lalu kita mentarget dengan target langit spekalutif alias tanpa perhitungan. Kita berharap bahwa setelah kelak satu semester anak kita pulang ke rumah, lalu anak kita harus berada dalam kondisi sholeh, tertib, patuh, hafal sekian banyak juz, dan lain-lain. Ini pun bagian dari pola berpiikir yang tak berhakikat. Karena memang lembaga pendidikan bukan tempat untuk kita menitipkan anak kita SEUTUHNYA.

Hakikat berikutnya, bahwa pendidikan adalah sebuah proses utuh menyeluruh. Artinya, ketika anak kita dididik, ditempa, dilatih, itu bukan saja untuk mendapat hal-hal yang sifatnya knowledge (pengetahuan). Melainkan, bagaimana mereka terbangun RASA (cerdas emosi), serta bagaimana mereka mendapat keterampilan hidup dan dan bagaiamana pula mereka dapat membuktikan ilmu-ilmu yang dapat dalam konteks kehidupan (psikomotorik).

Jadi, ketika setiap hari anak kita diingatkan untuk sholat, lalu materi bacaanya pun sudah mereka kuasai (baik dri madrasah terdekat maupun dari sekolah), namun pada kenyataan mereka cukup sulit untuk sekadar bangkit menunaikan sholat. Ada apa gerangan? Kenapa mereka begitu "hoream" (berat)? Kenapa wawasan dan wejangan seputar sholat itu seolah tak membekas?

Apakah semata-mata enggan, atau tak cukup alasan alias kurang motivasi terkait mengapa mereka harus melakukan hal tersebut. Tentunya hal ini, perlu kita gali. Khususnya, bagaimana keterampilan kita sebagai orang tua dalam hal MENGGALI ALASAN. Hal ini akan sangat erat kaitannya dengan motivasi, dengan kebersediaan mereka menjalani sesuatu.

Namun di luar itu semua, ada satu hal yang menjadi bahan muhasabah bersama terkait MODEL. Kita sebagai orang tua, sebagai guru di sekolah, hakikatnya adalah MODEL. Tepatnya, ROLE MODEL. Keseharian kita, itu akan menjadi jejak KESIMPULAN bagi anak. Artinya, mereka akan menyimpulkan sebuah PERSEPSI dari cara kita bersikap, dari cara kita berbicara, dari cara kita memerintah, dari aktivitas sehari-hari kita.

Dan kita yang hari ini sebagai sebuah lulusan dari universitas tertentu, dari lembaga pendidikan tertentu atau bahkan dari agenda-agenda pelatihan tertentu, lalu tidak beraktivitas yang sesuai dengan ilmu yang pernah diampu atau tidak sesuai dengan jurusan yang pernah kita ambil. 

Namun ketika jejak disiplin kita saat OPSPEK, jejak kesungguhan kita saat menuntaskan skripsi, jejak ketaatan kita kepada para guru dan dosen, hingga kini masih teradapitasikan pada hampir setiap segmen kehidupan kita. Itu artinya, kita masih memiliki JEJAK BELAJAR.

Contohnya, kita adalah lulusan bahasa ingris atau jurusan matematika, dan atau sejienisnya. Kita hari ini, tak berada di bidang itu, melainkan menjadi pegiat bisnis online, misalnya. Namun dalam perjalanannya, kita duplikasikan mental yang pernah kita dapat di bangku kuliah ke dalam aktvitas yang kita garap. 

Mulai dari cara berkomunikasi dengan baik (sebagai ikon orang terdidik), cara memperhitungkan untung rugi, merencanakan, membuat jurnal catatan sederhana, semangat mengukuti pelatihan hingga seni memenuhi target-target. Sesungguhnya adalah jejak belajar. Lebih tepatnya, jejak mental atau jejak karakter.

Jauh berbeda dengan orang yang konon melewati masa sekolah, melewati masa sekolah, bahkan berulang mengikuti pelatihan plus seminar ini dan itu, namun hampir tak mengamalkan hasil yang didapat, baik dari sisi wawasan keilmuan, maupun dari sisi mental (mental tangguh, mental sabar, mental tekun, mental semangat belajar, mental bereksplorasi).

Nah, untuk tipologi demikian, secara sarkasitis adalah bisa dikatakan sebagai orang tak memiliki jejak belajar. Atau kalau meminjam sebuah pribahasa, ibarat air di daun talas. Versi orang Sunda, kurang lebih "asup tina ceuli katuhu, ka luar tina ceuli kenca". Singkatnya, tak berjejak, tak berbekas. Alias nol.

Hal tersebut, tentu akan sangat bertolak belakang dengan mereka yang memang secara utuh (komprehensif) mengamalkan keseluruhan input-nput yang didapat dari bangku tempat belajar, baik dari keilmuan maupun dari sisi mental (pembiasaan positif).

Jadi, jika kemudian kita mencoba mengklasifikasikan tipologi orang-orang dalam merespons hasil belajar adalah;

Pertama, orang dengan jejak belajar pengetahuan dan mental

Kedua, orang dengan jejak belajar mental

Ketiga, orang tanpa jejak belajar

Mari kita sepakati, bahwa kita tak perlu mempermasalahkan poin kedua. Yang perlu kita hindari adalah bagaimana kita dan anak kita jangan sampai berada di level ketiga. Level di mana kita tak punya jejak belajar.

Nah hari ini, zaman ini, kita semua berada pada zaman yang insyaAllah lebih terbuka dari sisi kresativitas berpikir. Artinya, beragam kemungkinan bidang untuk kita dan anak kita seriusi, itu sangat luas. Lulusan sarjana pendidikan bisa dengan cara membuka lembaga sekolah atau kursus (artinya, tak terpatok harus melamar menjadin guru). 

Lulusan sarjana tata boga, berinovasi membuat paket menu bahan masak untuk satu pekan. Lulusan ilmu syariah dari Timur Tengah, membuka layanan konsultasi online dan oflline secara profesional. Dan contoh-contoh lainnya. Kurang lebih yang dimaksud dengan terbukanya berbagai kemungkinan bidang aktivitas.

Bismillah. Mari kembali menguatkan DIALOG. Dialog dengan buah hati. Dialog tentang harapan-harapan kita atas meeka, dialog tentang harapan-harapan mereka atas kita. Mudah-mudahana langkah ini menjadi sebuah bangunan ROAD MAP agar mereka lebih jelas dengan arah impiannya. Agar mereka punya ALASAN KUAT untuk melakukan kebaikan. Agar mereka tetap terjaga MOTIVASINYA utuk belajar.

Karena proses belajar yang baik, tentu saja akan melahikan jejak belajar yang baik pula. Akan membekas hingga waktu tak terbatas. Minimal, mereka dapat menjaga mental-mentalnya.

Demikian, semoga bermanfaat. Peluk hangat untuk Ananda di rumah.

Terima kasih dan salam pengasuhan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun