Mohon tunggu...
Muhammad Fakhri
Muhammad Fakhri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Muhammad Fakhri, seorang mahasiswa yang tertarik pada isu pendidikan. Saya berusaha untuk aktif dalam menulis opini dan refleksi sosial sebagai bentuk kepedulian terhadap kualitas pendidikan di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Minat Baca yang Rendah: Siswa yang Disalahkan, Sistem yang Dibiarkan

16 Juni 2025   18:30 Diperbarui: 16 Juni 2025   16:50 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak membaca buku di ruang kelas(Sumber: Koleksi pribadi / Gambar dibuat sendiri (AI-generated) )

Setiap kali hasil survei pendidikan internasional muncul, kita seperti dibangunkan kembali oleh kenyataan pahit: minat dan kemampuan membaca siswa Indonesia masih jauh dari harapan. Laporan PISA 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara dalam aspek literasi membaca.

Tentu ini bukan sekadar angka, ini cermin dari budaya belajar kita yang masih bermasalah. Namun ironisnya, dalam perbincangan sehari-hari, yang sering disalahkan adalah siswa itu sendiri. Mereka dianggap malas membaca, terlalu sibuk bermain gadget, atau kurang disiplin. Tapi benarkah kesalahan sepenuhnya ada pada mereka?

Budaya Membaca Masih Jauh dari Nyata

Banyak anak Indonesia tumbuh di lingkungan yang tak terbiasa dengan buku. Di rumah, buku tidak hadir sebagai bagian dari keseharian. Di sekolah, kegiatan membaca seringkali hanya menjadi formalitas, tanpa bimbingan atau diskusi yang mendalam. Akhirnya, membaca hanya menjadi rutinitas kosong tanpa makna.

Padahal, UNESCO sendiri menegaskan bahwa literasi bukan hanya soal membaca teks, tapi memahami dan memanfaatkannya dalam kehidupan. Maka ketika kita berbicara soal minat baca, yang kita hadapi bukan sekadar kemalasan siswa, melainkan sistem yang belum menanamkan budaya literasi secara menyeluruh.

Belajar Demi Ujian, Bukan Demi Pemahaman

Kita masih hidup dalam sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada angka. Siswa belajar agar bisa lulus ujian, bukan untuk memahami isi pelajaran. Tidak heran jika banyak dari mereka menganggap membaca sebagai kegiatan yang membosankan dan penuh tekanan.

Ditambah lagi, akses terhadap bahan bacaan yang menarik masih sangat terbatas. Menurut data Perpustakaan Nasional tahun 2021, rasio koleksi buku per kapita di Indonesia hanya sekitar 0,3 buku per orang. Dengan kondisi ini, bagaimana kita bisa berharap anak-anak mencintai membaca?

Tanggung Jawab Siapa?

Sederhananya, ini bukan kesalahan siswa. Ini adalah kegagalan sistemik. Orang tua, guru, sekolah, dan pemerintah semuanya punya tanggung jawab yang sama besar dalam membangun budaya membaca. Memberi contoh, menyediakan akses, menciptakan ruang, dan menghapus tekanan.

Meningkatkan minat baca bukan pekerjaan sehari. Tapi itu bisa dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Kalau ingin generasi yang cerdas dan kritis, kita harus berhenti menyalahkan, dan mulai membangun ekosistem belajar yang benar-benar mendukung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun