Mohon tunggu...
Mhmd Daan
Mhmd Daan Mohon Tunggu... Mahasiswa Filsafat

Saya mahasiswa Filsafat yang mencoba belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pesantren dan Citra yang Disudutkan: Menyikapi Stigma Negatif Media

14 Oktober 2025   09:04 Diperbarui: 14 Oktober 2025   09:04 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, jagat media sosial  diramaikan oleh pemberitaan salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, yang menayangkan liputan tentang pesantren dengan narasi yang dianggap menimbulkan kesan negatif. Dalam tayangan itu, pesantren seolah digambarkan sebagai tempat tertutup, penuh aturan keras, bahkan dikaitkan dengan perilaku menyimpang yang mencoreng citra lembaga pendidikan Islam. Reaksi publik pun beragam sebagian kecewa, sebagian marah, dan sebagian lagi mencoba memahami duduk perkaranya. 

Sebagai seseorang yang mengenal dunia pesantren dari dekat, saya merasa terusik. Liputan semacam itu bukan hanya sekadar tayangan, tetapi juga konstruksi realitas. Media memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi publik, dan ketika narasinya condong ke arah negatif, dampaknya bisa sangat panjang. Pesantren, yang selama ratusan tahun menjadi benteng moral dan pendidikan karakter bangsa, tiba-tiba dicurigai hanya karena framing yang keliru. Padahal, jika kita jujur menilik sejarahnya, pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Ia lahir jauh sebelum sistem sekolah modern diperkenalkan. Di dalamnya, para santri tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga disiplin, tanggung jawab, kemandirian, dan kepekaan sosial. Banyak tokoh bangsa  dari ulama hingga pejuang kemerdekaan lahir dari rahim pesantren. Maka, ketika media menampilkan pesantren dengan kacamata sempit dan sensasional, itu bukan hanya merugikan lembaga, tetapi juga melukai warisan budaya dan spiritual bangsa. Namun, saya juga menyadari bahwa kritik terhadap pesantren tidak harus selalu dianggap serangan. Ada kalanya kritik justru lahir karena adanya praktik-praktik yang memang perlu dibenahi, misalnya soal pengawasan internal, profesionalisme pengasuhan, atau kasus-kasus pelanggaran yang benar-benar terjadi. 

Tetapi perbedaan mendasarnya adalah cara menyampaikan. Kritik konstruktif berbeda jauh dari framing negatif yang mengkonstruk seluruh pesantren seolah sama buruknya.

Di sinilah peran media diuji. Dalam teori komunikasi, media disebut sebagai the fourth estate kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Artinya, media punya tanggung jawab moral yang besar untuk menjaga keseimbangan informasi. Sayangnya, di era rating dan klikbait, idealisme jurnalistik sering kalah oleh tuntutan sensasi. Alih-alih mendidik publik, media justru menciptakan ketakutan dan prasangka. Sebagai masyarakat, kita juga perlu lebih cerdas dalam menyikapi informasi. Jangan menelan mentah-mentah narasi yang disajikan media tanpa melihat konteksnya. Dunia pesantren begitu beragam ada yang tradisional, ada yang modern, ada pula yang menggabungkan keduanya. Tidak adil jika satu kasus di satu pesantren dijadikan gambaran umum seluruhnya. Sama halnya seperti tidak adil menilai seluruh sekolah umum hanya karena satu guru bersalah. Refleksi pribadi saya sederhana: pesantren bukan lembaga suci yang bebas dari salah, tapi ia juga bukan tempat kelam seperti yang sering digambarkan sebagian media. Ada ribuan pesantren di Indonesia yang justru menjadi ruang lahirnya generasi berakhlak, berilmu, dan berjiwa sosial tinggi. Maka, ketika media besar seperti Trans7 melakukan kesalahan dalam framing, sudah seharusnya ada klarifikasi dan tanggung jawab moral untuk meluruskan persepsi publik.

Di tengah derasnya arus informasi digital, marwah pesantren perlu terus dijaga  bukan dengan kemarahan, tetapi dengan menunjukkan bukti nyata bahwa pesantren adalah bagian penting dari peradaban bangsa. Biarlah media punya suara, tapi pesantren juga harus punya narasi. Karena jika pesantren diam, maka yang akan berbicara hanyalah stigma.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun